Breaking News

Risiko Pilkada Ditengah Pandemi Covid-19

Doc.Foto/Pribadi
Pandemi Covid-19 atau lebih dikenal dengan virus corona memberi dampak global terhadap berbagai sisi kehidupan. Tak hanya sektor kesehatan dan perekonomian, sejumlah agenda penting pun terpaksa harus diundur demi mencegah penyebaran kasus infeksi Covid-19 semakin meluas. 

Di antara agenda penting itu adalah pemilihan umum di sejumlah negara, termasuk di donesia. Di Indonesia pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 akan digelar dipenghujung tahun 2020. Pemerintah dan Komisi II DPR RI menyetujui pelaksanaan pemungutan suara pilkada serentak akan digelar 9 Desember 2020. 

Keputusan itu diambil saat komisi II menggelar rapat kerja dengan KPU, Bawaslu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan DKPP, selasa (CnnIndonesia 14/4.2020). Sebelumnya perhelatan pilkada itu ditunda dari yang semula dijadwalkan 23 September 2020 akibat wabah Covid-19 di Indonesia. 

Mewabahnya  Covid-19 secara tidak langsung membuat negara-negara dipusingkan oleh berbagai hal, tercatat pada tahun 2020 ini beberapa negara dijadwalkan melangsungkan pemilihan umum (pemilu). Namun ditengah pandemi banyak menimbulkan polemik tersendiri di tengah masyarakat.  Para otoritas terkait harus memutar otak agar penyelenggaraan pemilu atau pilkada bisa berjalan dengan aman dan lancar sehingga tidak menimbulkan lonjakan kasus  Covid-19

Institute for Democracy and Elerktoral Assistance (IDEA) pada laporannya menyebutkan sejak 20 September 2020 terdapat 71 negara dan teritori yang sempat memutuskan menunda pemilu nasional dan daerah karena pandemi covid-19. Dari 71 negara tersebut, ada yang akhirnya tetap menggelar pemilu.  Totalnya sebanyak 23 negara atau teritori. 

Sementara 48 negara lainya hingga 23 September 2020 tetap menunda proses pemilu. Beberapa negara bahkan belum menentukan tanggal pengganti pelaksana pemilu di negaranya. salah satu yang masih menunda adalah Hong Kong.

Pemilihan legislatif di Hong Kong diundur satu tahun dari yang seharusnya dilaksanakan pada September 2020. Langkah ini diambil karena pandemi Covid-19 yang masih belum bisa dikendalikan. “Ini keputusan yang sangat sulit untuk ditunda, tetapi kami ingin memastikan keadilan, keselamatan publik, dan kesehatan publik, “ ujar pemimpin eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, seperti dilansir New York Times, Jumat (31/7.2020).

Selain pemilu di Hong Kong, penundaan pemilu juga dilakukan di Paraguay, Kolombia, Somalia, hingga Jerman. Kumparan NEWS (23/9.2020). sedangkan beberapa Negara atau teritori yang memutuskan untuk tetap menyelenggarakan pemilu di tengah-tengah pandemi covid-19 adalah;

Korea Selatan
Sukses mengendalikan  Covid-19, Korea Selatan tetap menyelenggarakan pemilu pada pertengahan April 2020. Bahkan, jumlah pemilih tahun ini menjadi yang tertinggi dalam 28 tahun terakhir. Dikutip dari CNN, 16 April 2020, pemilu itu dilakukan  dengan tindakan pencegahan ketat. 

Pemilih wajib mengenakan masker dan sarung tangan, tempat pemungutan suara di disinfektasi, serta menjaga jarak. Tak hanya itu, pihak penyelenggara juga menyediakan bilik khusus bagi pemilih yang memiliki suhu lebih dari 37,5 derajat celcius. Meski para ahli telah memperingatakan adanya risiko infeksi, sejumlah pemilih mendukung keputusan untuk melanjutkan pemilu. 

Mereka menganggap pandemik membuat pemungutan suara menjadi lebih penting. Dalam pemilihan itu partai Demokrat memenangkan 180 dari 130 kursi di Majelis Nasional, suara terbesar yang di peroleh sejak 1987. “Dunia kembali kagum pada pemilihan umum ini. Terima kasih telah memberikan kekuatan kepada pemerintah kami untuk mengatasi krisis,’’ kata presiden Moon Jae-in.

Lalu mampukah Indonesia meniru Korsel gelar pemilu saat Pandemi?
Setelah sempat mengalami penundaan jadwal, pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu menyepakati Pilkada serentak 2020 digelar pada 9 Desember 2020. Dimana penyebaran virus  Covid-19 di Indonesia semakin meningkat tajam, per hari rabu 28 Oktober 2020 berdasarkan data worldmeters.info total kasus terinfeksi 400,483 dan Indonesia berada di peringkat ke 19 di dunia dan nomor satu di Asia Tenggara dari total 44,388,641 kasus di seluruh dunia.

Potensi penambahan bisa semakin meningkat dimana Indonesia sedang menyelenggarakan Pilkada serentak 2020 yang akan di ikuti 270 daerah. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Bahtiar dalam keterangannya, menjelaskan ke-270 daerah itu rinciannya adalah 9 provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota. Pilkada serentak 2020 seharusnya  diikuti 269 daerah, namun menjadi 270 karena pilkada kota Makasar diulang pelaksanaanya. Minggu (detiknews 23/6.2020). 

Mengutip dari Wijayanto Director Center for Media and Democracy LP3ES. Titik bahaya penyebaran  Covid-19 dalam tahapan pilkada 2020; pertama masa kampanye (26 September -5 Desember 2020 atau 71 hari), kedua hari pencoblosan (9 Desember 2020) dua tahapan ini berpotensi melahirkan bom atom kasus  Covid-19 di Indonesia. 

Jika bom atom ini meledak maka dipastikan akan terjadi ledakan nuklir kasus  Covid-19 pada akhir 2020 (Natal dan tahun baru dalam duka) kapasitas rumah sakit pasti tidak akan cukup. Bagaimana matematika pilkada 9 Desember 2020 sebagai super big spreader alis bom atom kasus  Covid-19 (Masa Kampanye) di Indonesia berikut perhitungannya; 

Potensi melahirkan titik kerumunan jumlah paslon 734, jumlah pasangan: 734 paslon x 2 orang = 1468 calon. Tiap calon rapat umum/terbatas di 10 titik per hari dalam 71 hari, maka kampanye pilkada menciptakan 1468 calon x 10 titik x 71 hari = 1.042.280 titik penyebaran  Covid-19.

Jumlah orang yang terlibat dalam 1.042.280 titik kampanye tersebut jika ikut aturan PKPU maksimal 100 orang per titik: 100 orang x 1.042.280 titik = 104.228.000  orang.

Jika positivity rate kasus covid Indonesia 19 persen maka potensi OTG yang bergabung dan menjadi agen penularan dalam masa kampanye 71 hari adalah: 104.228.000 orang x 19% = 19.803.320 orang. 

Potensi melahirkan titik kerumunan 305.000 titik (estimasi jumlah TPS dalam pilkada serentak 9 Desember 2020).  Jumlah orang yang terlibat di 305.000 titik TPS tersebut jika memakai target partisipasi 77,5 persen oleh KPU adalah: 106.000.000 DPT x 77,5% = 82.150.000 orang.

Jika positivity rate kasus Covid-19 Indonesia 19 persen maka potensi OTG  yang bergabung dan menjadi agen penularan pada hari H tanggal 9 Desember 2020 adalah: 82.150.000 orang x 19% = 15.608.500 orang. 

Sesungguhnya banyak pihak  yang meminta gelaran pilkada serentak ini untuk ditunda, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj misalnya, menekankan aspek jiwa keselamatan manusia lebih penting dari kegiatan apapun. 

Pernyataan itu disampaikan menyikapi pilkada 2020 yang tetap diselenggarakan pemerintah. Said Aqil menyampaikan usulan ormas termasuk PBNU untuk menunda pilkada 2020 atas pertimbangan kemanusiaan. Ia menyatakan keselamatan jiwa tidak bisa dinegosiasikan, terlebih oleh kegiatan politik. 

Said Aqil mengklarifikasi usulan menunda jangan disalah artikan sebagai langkah menjegal agenda politik. Sikap itu disampaikan PBNU peduli pada kondisi pandemik Covid-19 yang kian mengganas. Walau demikian PBNU tetap menerima keputusan pemerintah sebagai yang punya otoritas. 

Senada dengan Said Aqil, Ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir akhirnya menerima keputusan pemerintah yang pada akhirnya tetap melanjutkan penyelnggaraan pilkada 2020. Namun, Haedar meminta pemerintah bertanggung jawab atas segala risiko penualaran  Covid-19 yang timbul akibat pilkada 2020. 

Namun demikian semua itu tergantung  pemerintah dan lembaga terkait yang memegang kewenangannya. Semua tentu sudah diperhitungkan dengan risiko dan tanggung jawabnya yang total,’’ kata Haedar saat diwawancara Republika pada rabu (23/9.2020).

Disisi lain, masyarakat berpendapat pemilihan harus terus berjalan meski dimasa pandemi. Karena tidak ada satupun yang tahu dan bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 ini berakhir. Maka pilihannya adalah the show must go on

Kerumunan manusia merupakan target sasaran empuk bagi penyebaran  Covid-19, tentu hal ini sudah disadari oleh semua pengambil kebijakan. Sehingga mereka berpesan agar pelaksanaan tahapan pemilihan lanjutan dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. 

Beberapa anggota DPR berpendapat apabila Korea Selatan (Korsel) bisa melaksanakan ditengah pandemi, maka Indonesia juga pasti bisa melaksanakannya. Pertanyaan mendasarnya mampukah Indonesia menyelenggarakan pemilu dimasa pandemi tanpa membuat lonjakan kasus Covid-19 

Penulis,
Heri Handoko 
*Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
*Anggota DPRD Provinsi Banten Fraksi Demokrat


0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close