Breaking News

Cerita Hijabers Asal Banten Ngajar di Papua Barat


Ketika langit mulai menguning, saya suka ditemani oleh anak-anak yang merangkai bunga dan memakainya bak mahkota indah di atas kepala mereka. Sangat menggembirakan dan saya larut dalam suasana kegembiraan itu. Di tanah Papua aku belajar memungut serpihan hidup dari jiwa-jiwa suci.

PENULIS | ANNISA SOFIA WARDAH

Seperti pepatah orang Minang, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.  Itulah yang saya rasakan saat ini. Selama dua belas bulan ke depan, saya akan menetap dan belajar menjadi warga yang patuh pada hukum adat di Papua, menjadi guru yang baik untuk anak-anak didik saya, menjadi tetangga yang hormat. Sisi lain saya juga   seorang anak yang selalu menitipkan rindu pada doa dan menyimpannya dengan rapi. 

Saya sadar atas pilihan yang telah saya ambil, berpisah dengan kedua orangtua dan berpisah dengan tanah kelahiran saya. Yap, tapi itu hanya sementara, esok atau lusa saya akan kembali dengan mimik yang berbinar karena telah terasuki oleh kesegaran makeup alami tanpa polusi. Ya, saat ini saya tidak lagi di Banten, tapi saya berada di ujung timur Indonesia. 

Tepatnya di Pulau Beo, Raja Ampat, Papua Barat. Pulau Beo berada di tengah Teluk Mayalibit dan berhadapan dengan Pulau Go dan Pulau Waifoi. Selama 15 menit saya bisa mengelilingi pulau yang dikenal sebagai kampung muslim di Papua ini. Pertama kali menginjakkan kaki di Beo, saya langsung disuguhi pemandangan rumah-rumah berdinding papan di sepanjang bibir pantai, rumah-rumah dengan halaman belakangnya adalah laut.


Sri Wahyuni, murid saya di kelas lima. Ayahnya orang Jawa dan ibunya Papua. Selama satu tahun mengabdi di sini, saya akan tinggal di rumah mereka. Rumah yang sama dengan rumah-rumah lainnya di sini. Halaman belakang rumah ini menghadap ke laut lepas. 

Semenjak di sini, saya memiliki kegeramaran baru, memanjakan mata saya dengan pemandangan laut yang biru dan pepohonan yang hijau segar. Belum lagi pemandangan ikan-ikan kecil yang berenang berkelompok, juga ikan-ikan besar yang suka melompat ke permukaan air.

 Hari-hari saya di Papua saya lalui dengan segenap perasaan gembira. Saya dengan begitu mudah menjumpai matahari terbit dan tenggelam. Ketika langit mulai menguning, saya suka ditemani oleh anak-anak yang merangkai bunga dan memakainya bak mahkota indah di atas kepala mereka.

Memang, suhu udara di Beo cukup panas saya rasakan. Meski demikian, tidak perlu memasang kipas angin atau AC karena angin begitu setia berembus menembus jendela, dan memberikan kesegarannya secara cuma-cuma. Di rumah ini pun saya jadi bersahabat dengan ombak. Bagaimana tidak, saban malam saya ditemani kecipak air laut yang bermain di bawah lantai. Suara-suara air adalah teman setia yang menemani saya menulis di sini. Rumah Yuni memang sudah lama tidak dihuni.

Ada dua kamar di sini, satu ruang tamu yang cukup luas, dapur, dan kamar mandi yang rusak. Warga Beo memiliki rasa peduli yang tinggi, terlebih terhadap guru walaupun itu pendatang. Semenjak mengangkut barang ke rumah baru ini, para papa dan kaka sibuk mengambil bambu di gunung, dan membuatkan kamar mandi sebagai pengganti kamar mandi yang rusak. 

Para mama pun sungguh besar perhatiannya pada saya. Mama Alya membawakan kompor miliknya. Nenek Irna membantu memasang sumbu. Nenek Tingting selalu datang ke rumah tiap pagi dan berpesan untuk selalu hati-hati. Nenek Tingting juga membawakan peralatan memasak.

 Rumah ini adalah rumah siapa saja. Satu kamar memang menjadi ruang privasi saya dan Earli, teman satu kampus saya. Kami tinggal berdua dini sini. Satu kamar lagi adalah khusus untuk anak-anak yang selalu ramai, tidak pernah kosong, malah selalu bertambah. 

Ada Zulaikha, Alya, Eva, Yuni, Rusini, Hesti, dan Ilham sering iseng mengganggu para bocah wanita ketika tidur siang.  Ruang tamu yang menghadap pekarangan menjadi ruang khusus untuk bimbel, mengaji, salat berjamaah, main ‘tipu-tipu’ (sulap), dan tentu saja ruang untuk bersenda gurau.

Rumah ini tidak pernah sepi, apalagi malam hari. Anak-anak yang datang untuk belajar selalu bertambah. Ada saja keindahan dari tawa mereka, dari doa-doa sebelum makan dan sebelum tidur yang merela lafalkan, dari doa untuk orangtua. Ah tidak hanya itu, mereka adalah pemilik suara-suara merdu. Dari mereka saya belajar banyak hal. Tidak hanya kesamaan kulit yang gelap, mereka juga begitu kompak dan gemar bernyanyi. Suara mereka adalah sumber kehangatan hati saya. 

Pelukan mereka sehangat pelukan Ibu dan Bapak. Ah, Ibu dan Bapak, saya selalu rindu  kecupan kalian sehari sebelum keberangkatan. Kasih sayang yang tak bisa langsung saya dirasakan, namun telah diwakili oleh penduduk Beo, oleh anak-anak didik saya di sini. Dan saya meyakini, tempat yang dipijaki selalu menjadi rumah. [*]

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close