Dalam rentang waktu yang tidak lama dua kasus yang melibatkan komedian sekaligus brand ambasador ramai menjadi perbincangan. Masalahnya bukan apa-apa, mereka adalah brand ambasador sebuah produk dan program televisi. Ernest Prakarsa adalah bintang iklan Tolak Angin, salah satu brand PT Sidomuncul.
Kasus Ernest lebih fatal karena ia adalah bintang iklan brand ternama yang telah mendapatkan kepercayaan dari konsumen, bahkan memiliki konsumen loyal yang sulit digeser, jelas ini merugikan perusahaan, karena perusahaan terkena imbas dari perilaku sang bintang iklan. Padahal, sejauh pengamatan saya, Irawan sang Direktur PT Sidomuncul sedang getol-getolnya merangsak pasar dan menaikan positioning produk Tolak Angin menjadi produk kelas menengah atas.
Irawan sedang menyasar pasar kelas menengah atas. Ini terlihat jelas dari komunikasi pemasaran yang dilakukan melalui iklan. Kalau dulu iklan Tolak Angin menggunakan bintang iklan pelawak sebagai representasi kelas bawah, tetapi beberapa tahun terakhir Tolak Angin menggunakan bintang iklan kalangan tertentu yang mempresentasikan kelas menengah atas. Sebut saja Rhenald Kasali,
Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Tina Talisa (Eks.Presenter TVOne), Agnes Monica termasuk Ernest yang mewakili komedian dan dianggap bisa mewakili kalangan kelas menengah. Kerja keras Tolak Angin diperjelas dengan Tagline "Orang Pintar Minum Tolak Angin. Dari tagline ini jelas ini pesannya bahwa Tolak Angin bukan lagi konsumsi kelas bawah, tetapi sudah layak untuk dikonsumsi kalangan menengah atas, kaum terdidik dan perkotaan. Sebelum melakukan ReBranding,
Tolak Angin memang diimajekan sebagai produk jamu yang hanya dipercaya kelas bawah. Lalu dimodifikasi oleh perusahaan untuk merangsak ke kelas menengah atas. Bahkan, semangat yang menggebu-gebu itu terlihat dengan masuknya Tolak Angin di luar negeri. Komunikasi marketing pun dilakukan dengan iklan dan menggunakan testimoni dalam iklan beberapa bule dari negara luar, seperti Singapura, Australia, Jepang dan China.
Apa yang dilakukan perusahaan beberapa tahun terakhir cukup berhasil dan sukses. Hal ini terlihat dengan adanya kepercayaan dari kelas menangah terhadap Tolak Angin. Ini menggeser produk sejenis lainnya. Keberhasilan komunikasi pemasaran yang dilakukan Tolak Angin saya acungkan jempol. Kalau tidak salah Tolak Angin menggunakan jasa periklanan Dwi Sapta, sebuah agen periklanan yang sudah puluhan tahun menggarap sejumlah iklan termasuk Tolak Angin.
Saya tidak tahu alasan Tolak Angin menggunakan Ernest sebagai brand ambasador, tapi perkiraan saya karena Ernest mewakili kalangan komik, yaitu trend komedian masa kini yang sedang digandrungi kalangan anak-anak muda. Mungkin maksud Tolak Angin ingin mempertahankan brand produk yang selama ini sudah didapatkan agar menjadi pelanggan loyal, usai Agnes Monica menjadi bintang iklannya.
Lalu bagaimana efek pasca kasus Ernest? Menurut saya jelas akan berdampak, mengingat kasus ini bermula dari sosial media twitter bukan facebook. Kita ketahui salah satu perbedaan antara twitter dan facebook adalah penggunanya. Rata-rata pengguna twitter adalah kelas menengah, berpendidikan sedangkan facebook merupakan sosial media sejuta umat dan sering digunakan kalangan menengah bawah.
Jika dikaitkan dengan target pasar yang hendak dipertahankan Tolak Angin jelas kasus Ernest akan berdampak signifkan karena pengguna twitter beririsan dengan target pasar Tolak Angin. Kita tahu bahwa karakter kelas menengah adalah banyak perimbangan untuk memutuskan sesuatu termasuk membeli produk. Salah satu pertimbangannya adalah aspek psikologis, dan salah satunya tentang Agama dalam hal ini label halal haram menjadi urgen. Maka Tolak Angin jauh-jauh hari membranding sebagai produk halal. Pesan itu disampaikan cukup jelas melalui iklan dan komunikasi marketing lainnya.
Menurut saya Ernest telah melakukan kesalahan fatal terhadap produk Tolak Angin. Upaya dan kerja keras Tolak Angin selama ini untuk menyasar dan mempertahankan positioning pada kelas menengah bisa sirna seiring dengan ketidakpuasan konsumen. Dan lebih menyakitkan lagi, kejenuhan konsumen tersebut disebabkan bukan karena produknya, tetapi karena bintang iklannya. Jelas ini cukup menyakitkan karena membangun brand tidaklah mudah dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Lalu apa yang akan dilakukan Tolak Angin pasca kasus Ernest? Saya belum mengetahui persis, tapi dari statement Irawan sang Direktur Sidomuncul Tolak Angin akan melakukan formulasi baru. Entah seperti apa konsepnya kita tunggu saja. Namun yang pasti kasus Ernest jelas telah menancap pada target pasar Tolak Angin. Ibarat paku yang ditanamkan di tembok, meski pakunya sudah dilepas tetapi masih ada sisa-sisanya di tembok.
Langkah ekstrim Tolak Angin mungkin saja akan sama yang pernah dilakukan Ariel Peterpen saat kasus asusila. Peterpen langsung melakukan Re-Branding total termasuk penggantian nama menjadi Noah. Kasus Ernest menjadi catatan penting bagi sebuah produk bahwa tidak bisa main-main memilih bintang iklan, sebab reputasi yang telah dibangun dengan susah payah, biaya mahal dan butuh waktu yang tidak sebentar bisa hancur hanya gara-gara perilaku sang bintang iklan.
PENULIS | KARNOTO
KONSULTAN BRAND | FOUNDER BANTENPERSPEKTIF
Social Footer