Butuh bahan kosmetik dan tenaga terampil untuk melakukan makeup politik. Dan ini tergantung besarnya budget yang dimiliki politisi dan partai politik
~ Karnoto ~
Ramuan kosmetik politik baik yang diracik modern maupun tradisional dalam panggung politik sudah menjadi jamak dalam perpolitikan tanah air, terutama saat momentum pilkada dan pemilihan umum. Tidak ada tampilan politik yang berjalan alamiah, karena semua menggunakan makeup dan salon politik. Bagi saya itu sah-sah saja karena bagian dari strategi marketing politik agar menarik dan mampu menampilkan sesuatu yang enak dilihat.
Meskipun terkadang berlebihan tapi biarlah masyarakat yang nanti lambat laun akan melihat polesan makeupnya, apakah hanya sekadar tampilan luar dengan pelembab yang berlebihan atau polesan itu dipakai hanya untuk pemanis saja, tidak lebih daripada itu.
Makeup politik memang harus dilakukan apalagi yang menjadi pemain utama karena semua mata akan tertuju pada orang tersebut. Mempercantik tampilan baik secara persona politisi maupun partai harus dilakukan agar publik bisa menangkap tampilannya.
Karena bermula dari tampilan makeup inilah publik bisa tertarik, perkaran isinya seperti apa itu lain cerita. Yang pasti jika makeupnya tidak proporsional maka cibiranpun akan dialamatkan ke personal atau partai politik. Mempercantik politik (politisi dan partai) membutuhkan keterampilan khusus, terutama tenaga ahli makeup politiknya.
Mulai dari tenaga public relation, advertising, marketing, media dan social engenering. Kesemuanya harus terintegrasi agar bisa matching. Dulu PDI Perjuangan rajin melakukan makeup dengan ramuan bernama Partainya Wong Cilik. Ramuan itu diracik begitu apik melalui berbagai event dan momentum politik.
Hasilnya PDI Perjuangan berhasil memenangkan pemilu dan mengantarkan Jokowi menjadi Presiden. Begitupun Susilo Bambang Yuhdoyono dan Demokrat. Mereka juga memoles di salon politik sehingga berhasil memenangkan pemilu dengan hasil spektakuler.
Partai Golkar juga tampaknya sedang berusaha keras melakukan makeup dan memoles wajah partai. Meski ada nouse (gangguan) karena konflik internal, tapi upaya memoles wajah partai agar kembali menjadi partai pujaan seperti beberapa tahun silam masih terus dilakukan.
Makeup wajah partai juga dilakukan partai lain seperti PKS, PAN, Gerindra, Hanura, Nasdem bahkan Partai Perindo sekarang sedang semangat-semangatnya makeup. Ada beberapa racikan kosmetik politik yang akan menentukan barhasil atau tidaknya makeup tersebut.
Pertama, kualitas bahan kosmetik politiknya, apakah berkualitas atau sekadarnya. Kualitas ini sangat ditentukan oleh kemampuan budget sebuah partai politik. Bagi partai yang memiliki finansial mencukupi maka bisa sewa tenaga salon politik yang ahli sehingga mampu mencari dan membuat kosmetik politik yang menawan tapi elegan.
Racikan kosmetik politik ini tak bisa sembarangan didapatkan karena sifatnya yang spesilais product maka dibutuhkan tenaga yang menguasai masalah ini. Langkah kedua setelah berhasil menemukan bahan kosmetik politik dan membuatnya maka selanjutnya adalah kemampuan memanfaatkan momentum politik.
Meski tampilan wajah partai baik, cantik dan elegan, tapi jika tidak mampu mengatur ritme momentum politik, kapan saatnya wajah cantik itu ditampilkan maka yang ada bisa salah tempat. Seperti orang fesyen show, coba Anda lihat pakaiannya, banyak yang aneh-aneh. Ada yang bajunya sampai menyentuh tanah, ada yang beratnya sampai 10 kilogram dan lain-lain.
Apakah dandanan seperti itu cocok untuk kita pakai dalam keseharian? Saya pikir orang akan melihat orang tersebut sebagai keanehan. Namun akan berbeda jika tampil pada momentum pameran, namanya juga pameran kalau biasa-biasa saja bukan pameran namanya.
Partai politik dan para politisi pun tak jauh berbeda. Beberapa kasus sering tidak pada tempatnya sehingga bukan simpatik tapi justru cibiran, terutama dari para netizen. Dan langkah terakhir adalah konsistensi makeup politiknya. Ini yang sering cidera dan terlupakan.
Seolah-olah kalau sudah tampil mempesona dan mendapat sanjungan serta followers maka semua beres dan pasti terjaga. Konsistensi ini juga menjadi bagian branding sehingga publik bisa menjadi pemilih loyal. Bagi sebagian kader partai mungkin tak terlalu penting konsistensi tersebut karena nasibnya ditentukan oleh partai, namun bagi publik ini menjadi masalah serius.
Kalau dalam produk komersial ada teori prodct life cycle (siklus sebuah produk), ada empat tahapan yaitu introduction (pengenalan), Growt (pertumbuhan), Mature (mapan) dan terakhir decline (jenuh). Semua produk akan mengalami siklus itu.
Masa pengenalan terjadi saat kali pertama produk itu muncul sehingga diolah sedemikian rupa cara komunikasi marketingnya, produknya, kemasannya agar mampu menarik perhatian. Jika ini berhasil maka akan tumbuh, pada tahap ini konsumen mulai percaya dan mau membeli produk tersebut sehingga akan mengantarkan produk tersebut mature atau mapan.
Pada tahap mature ini mereka mendapatkan pelanggan loyal yang mau beli dan beli lagi. Pada tahap ini biasanya sering lupa bahwa akan ada pesaing atau kompetitor yang mengeluarkan produk sejenis dengan target pasar yang sama. Jika produk itu tidak menyadari dan tidak melakukan langkah antisipasi maka akan diujung siklus yaitu decline, dimana konsumen mulai jenuh dan mulai meninggalkan produk dan berganti ke produk lain.
Menurut saya, partai politik pun demikian. Coba kita lihat hampir semua partai telah mengalami siklus tersebut. Demokrat misalnya, dulu dia berada pada tahap mapan atau mature sehingga kita mengenal istilah Demokrat menjadi tsunami politik karena unggul dengan perolehan suara yang memukau.
Tapi pada pemilu 2014 Demokrat mulai digeser oleh PDI Perjuangan. PDIP sendiri sebetulnya juga sama pernah mengalami siklus yang pernah dialami Demokrat, apalagi Partai Golkar, partai yang tua ini juga sudah beberapa kali memutari siklus tersebut.
Bahkan PKS sebagai partai Islam baru pun telah mengalami siklus itu. Lalu bagaimana agar partai memiliki usia kemapanan lebih panjang. Ada beberapa langkah dan salah satunya adalah melakukan Re-Branding, seperti apa strategi Re-Branding akan saya bahas pada tulisan berikutnya.
Strategi ini dilakukan oleh PKS, bahkan sampai empat kali melakukan Re-Branding, yaitu dimasa kepemimpinan Anis Matta, Hidayat Nurwahid, Tifatul Sembiring dan Sohibul Iman. Diakhir tulisan saya ingin mengatakan bahwa makeup dan salon politik tidaklah salah sepenuhnya, asalkan dilakukan secara
proporsional dan profesional.
Menggunakan makeup politik yang berlebih-lebihan sampai harus melakukan operasi wajah yang tidak sewajarnya maka justru akan berbahaya pakai partai itu sendiri. Ingat, saat ini generasi Y menguasai Indonesia dan hal ini terkonfirmasi dengan adanya bonus demografis. Generasi Y yaitu generasi yang lahir tahun 80-an ke atas menguasai dan karakater mereka berbeda dengan generasi X yang lahir 80-an kebawah. Bahkan di tahun 2025 akan lahir generasi alfa, mereka yang lahir tahun 2000-an ke atas.
Karakter mereka kritis terhadap tampilan wajah partai dan politisi, sehingga tidak mudah untuk membuat mereka percaya. Mereka tetap ingin melihat ada makeup dan salon politik, tapi mereka juga kritis terhadap kosmetik dan cara partai dan polisiti menampilkan wajah hasil makeupnya tersebut. Jika dinilai berlebihan dan nora maka mereka tak segan-segan memberikan koreksi bahkan mencibir wajah kita. Sayangkan kalau sudah mengeluarkan budget besar, tapi makeup politik justru dicibir.
PENULIS | KARNOTO
KONSULTAN BRAND | FOUNDER BANTENPERSPEKTIF
Social Footer