Serangan teknologi informasi tidak mengenal kata ampun. Ia menyerang siapapun dan akan “menghabisi” kita meski kita sudah mengibarkan bendera putih sebagai bukti bahwa kita sudah tidak berdaya.
~ Karnoto ~
Hadirnya teknologi di tengah-tengah ruang keluarga telah membuat perubahan lifestyle sebagian besar dari kita. Bagaimana tidak, ketika kita jalan-jalan di sebuah objek wisata kita bisa langsung share dengan jutaan orang hanya cukup dengan jemari kita, tanpa harus woro-woro. Apalagi ketika kita bisa mengunjungi tempat yang istimewa, dimana tidak semua orang bisa datang ke tempat tersebut.
Waow, megahnya gedung putih Amerika Serikat. Dinginnya musim dingin di Jepang atau Indahnya langit di atas kota Mekah dan Madinah.Kalimat di atas adalah sejumlah status upload seseorang yang di jejaring sosial facebook. Meski singkat, namun dari kalimat itu sang pemili akun ingin memberikan kabar bahwa dirinya sudah atau sedang mengunjungi tempat istimewa. Kabar ini akan semakin mengundang komentar dari pertemanan ketika disertai foto-foto sang pemilik akun dengan background tempat dimana ia kunjungi.
Dan yang lebih “mengerikan” lagi teknologi informasi seperti tidak lagi memberikan kita ruang privasi. Ketika kita foto selfie bersama anak-anak atau pasangan kita lalu tiba-tiba gadget kita yang lihat dan dishare ke publik maka foto yang semula menjadi ruang privasi akan menjadi konsumsi publik. Beberapa kasus menjadi bukti bahwa kita sudah tidak lagi memiliki ruang privasi. Hikmahnya adalah kita dipaksa hati-hati dengan status dan foto kendati semula kita hanya iseng-iseng, tapi tidak sedikit yang awalnya iseng-iseng justru menjadi masalah serius bahkan masuk dalam kasus hukum.
Bagi sebagian orangtua fenomena ini betul-betul di luar dugaan dan tak jarang membuat sebagian orangtua harus sport jantung, karena gempuran teknologi informasi menyerang habis-habisan ruang privasi. Kecepatan teknologi bahkan lebih cepat daripada aturan main yang dibuat sebuah negara. Di Indonesia misalnya, pemerintah membuat undang-undang tentang informasi teknologi setelah sejumlah kasus muncul.
Contoh paling baru adalah rencana pemerintah membuat undang-undang tentang pemberlakuan pajak bagi e-commerce. Oleh karena sifatnya yang tak kenal kata ampun, maka selayaknya kita sebagai orangtua harus menjadi smart. Jangan hanya gadgetnya yang smart, tapi orangtuanya juga mesti smart. Ketika anak-anak kita sudah memiliki akun pribadinya maka selayaknya kita menjadi teman bagi mereka di dunia maya, meskipun setiap hari kita bertemu di rumah.
Ingat, sifat teknologi tak kenal kata ampun. Sudah banyak kasus anak-anak yang kena rayuan maut dari pertemanannya di jejaring sosial media lalu hilang dibawa kabur. Memarahi anak ketika senyum-senyum sendiri atau ketika mereka asyik di kamar tidur padahal tidak ada siap-siap, tapi mereka betah bukanlah jalan bijak. Semakin kita menggunakan strategi menyerang kepada anak-anak maka serangan mereka justru akan semakin dahsyat karena dilakukan dengan cara gerilya.
Jadi intinya adalah orangtua harus menjadi teman atau sahabat anak-anak di dua dunia sekaligus. Pertama sahabat di dunia nyata dan sahabat di dunia maya. Kita harus mencoba masuk dalam ruang anak-anak kita tanpa mereka merasa diawasi. Dan menjadi sahabat adalah pilihan terbaik, karena filosofi sahabat jauh lebih akrab daripada hanya pertemanan.
Sahabat adalah tempat mencurahkan segala unek-unek, sahabat juga tempat berbagi kebahagiaan.
Ini berbeda dengan pertemanan yang pada umumnya hanya sebatas hubungan luar, hubungannya tidak seintim sebagaimana persahabatan. Jadilah orangtua sekaligus sahabat bagi anak-anak kita sehingga mereka merasa nyaman menceritakan apa saja yang mereka alami dan hadapi. Mulai dari urusan sekolah, konflik dengan teman, belanja, gadget sampai pada urusan asmara anak-anak. Kalau kita gagal menjadi sahabat bagi anak-anak maka mereka akan mencari sahabat di luar dan ini menurut saya berbahaya.
PENULIS | KARNOTO
KONSULTAN BRAND | FOUNDER BANTENPERSPEKTIF
Social Footer