Prinsip-prinsip dasar humas itu konsisten dan kekal. Namun dalam praktiknya, karena dipengaruhi oleh kekuatan sosial, sains dan lingkungan yang berubah terus menerus, ia berevolusi secara konsisten.
~ Frazier Moore, Ph.d. ~
Saya memang tidak pernah studi khusus public relation di kampus, namun pernah mempelajari PR karena ia masuk dalam bauran Marketing Communication Advertising. Selain itu, aktivitas sebagai jurnalis sedikit banyak melihat praktik PR, terutama saat liputan di sebuah majalah ekonomi nasional di Jakarta.
Dimana saya sering diundang oleh orang-orang PR, baik perusahaan otomotif seperti ASTRA, Mazda, Sinarmas Land, Asuransi termasuk Forum Kehumasan BUMN. Termasuk saat masih bekerja di Jawa Pos Group (Radar Banten) sampai sekarang mengelola media online sendiri (BantenPerspektif.Com) juga masih berinteraksi dengan jenis profesi ini.
Profesi ini memang praktiknya tak melulu butuh orang yang berlatarbelakang komunikasi atau PR, karena profesi ini berbeda dengan dokter dan advokat (pengacara), dimana dua profesi ini harus berlatarbelakang kedokteran dan hukum. Berbeda dengan profesi humas, tidak harus berlatarbelakang kehumasan atau komunikasi.
Profesi ini lebih mengandalkan kemampuan komunikasi dan membaca keadaan serta kemampuan memutar citra buruk atau paling tidak meminamilisir stigma buruk, baik yang menyerang atau merugikan perusahaan, partai politik atau lembaga non profit.
Pengalaman selama berinteraksi dengan orang-orang PR dari beragam segmen memang ada perbedaan yang cukup tajam, mulai dari kemampuan analisa dan gaya komunikasinya antara PR perusahaan, PR lembaga sosial dengan PR lembaga politik.
Terutama PR di perusahaan komersial dengan PR yang bersentuhan dengan politik. Namun beberapa orang PR di perusahaan cukup lihai dalam mengelola isu layaknya PR politik. Itulah kenapa seorang PR memang tidak terlalu terpaku pada latarbelakang pendidikan, karena faktanya ada orang yang berlatarbelakang komunikasi tapi justru kalah terampil oleh PR yang berlatarbelakang non komunikasi.
Kalau mengacu pada teori buku teks humas terlalu teoriti dan mungkin bagi sebagian orang terlalu njlimet, seperti pengertian dari pelopor humas modern Paul W. Garrett yang mengatakan humas adalah suatu sikap pikiran yang mendasar, suatu firasat manajemen yang dengan sengaja dan mandiri menempatkan kepentingan masyarakat luas lebih dulu dalam setiap keputusan yang memengaruh operasi suatu perusahaan. Njlimet kan?
Apalagi PR bagi sebuah partai politik atau lembaga yang bersentuhan dengan dunia politik, tentu ia dituntut cakap, terampil dan memiliki ketajaman analisa dalam demografis sosial politiknya. Jika tidak maka akan kelewat momentum atau gagal mengelola isu yang berkembang.
Sebetulnya PR itu bagian dari teori Marketing Communication Advertising, PR menjadi rangkaian dari beban orang-orang MarComm selain Advertising, Event dan Media Planning. Maka sebagian perusahaan besar sekarang trendnya menghapus PR dan posisi ini include dalam bagian Marketing Communication (MarComm).
Seperti apa praktik di lapangan seorang PR dan bagaimana menelisik keterampilan para PR, baik di perusahaan maupun lembaga politik akan saya tulis dalam kesempatan lain. Tulisan ini sebagai pengantar saja perihal public relation. Namun sedikit saya ulas sekelumit soal PR disini. Yang pasti PR itu bukan cuma menyiapkan event konferensi pers semata, namun ada yang jauh lebih urgen yaitu kemampuan mengamati, menganalisa dan mengelola isu yang berkembang.
Terutama isu-isu yang dirasa akan merugikan lembaga atau perusahaan dimana seseorang PR bekerja. Tak cukup menganalisa tapi seorang PR juga harus mampu memberikan jalan keluar terhadap isu yang merugikan perusahaan atau lembaga tersebut. Karena ilmu sosial jadi tidak ada tips baku, tapi kecakapan seorang PR disini akan diuji sejauhmana mampu adaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Dua hal lagi yang harus dimiliki seorang PR adalah public speaking dan kemampuan lobi.
Dimana saya sering diundang oleh orang-orang PR, baik perusahaan otomotif seperti ASTRA, Mazda, Sinarmas Land, Asuransi termasuk Forum Kehumasan BUMN. Termasuk saat masih bekerja di Jawa Pos Group (Radar Banten) sampai sekarang mengelola media online sendiri (BantenPerspektif.Com) juga masih berinteraksi dengan jenis profesi ini.
Profesi ini memang praktiknya tak melulu butuh orang yang berlatarbelakang komunikasi atau PR, karena profesi ini berbeda dengan dokter dan advokat (pengacara), dimana dua profesi ini harus berlatarbelakang kedokteran dan hukum. Berbeda dengan profesi humas, tidak harus berlatarbelakang kehumasan atau komunikasi.
Profesi ini lebih mengandalkan kemampuan komunikasi dan membaca keadaan serta kemampuan memutar citra buruk atau paling tidak meminamilisir stigma buruk, baik yang menyerang atau merugikan perusahaan, partai politik atau lembaga non profit.
Pengalaman selama berinteraksi dengan orang-orang PR dari beragam segmen memang ada perbedaan yang cukup tajam, mulai dari kemampuan analisa dan gaya komunikasinya antara PR perusahaan, PR lembaga sosial dengan PR lembaga politik.
Terutama PR di perusahaan komersial dengan PR yang bersentuhan dengan politik. Namun beberapa orang PR di perusahaan cukup lihai dalam mengelola isu layaknya PR politik. Itulah kenapa seorang PR memang tidak terlalu terpaku pada latarbelakang pendidikan, karena faktanya ada orang yang berlatarbelakang komunikasi tapi justru kalah terampil oleh PR yang berlatarbelakang non komunikasi.
Kalau mengacu pada teori buku teks humas terlalu teoriti dan mungkin bagi sebagian orang terlalu njlimet, seperti pengertian dari pelopor humas modern Paul W. Garrett yang mengatakan humas adalah suatu sikap pikiran yang mendasar, suatu firasat manajemen yang dengan sengaja dan mandiri menempatkan kepentingan masyarakat luas lebih dulu dalam setiap keputusan yang memengaruh operasi suatu perusahaan. Njlimet kan?
Apalagi PR bagi sebuah partai politik atau lembaga yang bersentuhan dengan dunia politik, tentu ia dituntut cakap, terampil dan memiliki ketajaman analisa dalam demografis sosial politiknya. Jika tidak maka akan kelewat momentum atau gagal mengelola isu yang berkembang.
Sebetulnya PR itu bagian dari teori Marketing Communication Advertising, PR menjadi rangkaian dari beban orang-orang MarComm selain Advertising, Event dan Media Planning. Maka sebagian perusahaan besar sekarang trendnya menghapus PR dan posisi ini include dalam bagian Marketing Communication (MarComm).
Seperti apa praktik di lapangan seorang PR dan bagaimana menelisik keterampilan para PR, baik di perusahaan maupun lembaga politik akan saya tulis dalam kesempatan lain. Tulisan ini sebagai pengantar saja perihal public relation. Namun sedikit saya ulas sekelumit soal PR disini. Yang pasti PR itu bukan cuma menyiapkan event konferensi pers semata, namun ada yang jauh lebih urgen yaitu kemampuan mengamati, menganalisa dan mengelola isu yang berkembang.
Terutama isu-isu yang dirasa akan merugikan lembaga atau perusahaan dimana seseorang PR bekerja. Tak cukup menganalisa tapi seorang PR juga harus mampu memberikan jalan keluar terhadap isu yang merugikan perusahaan atau lembaga tersebut. Karena ilmu sosial jadi tidak ada tips baku, tapi kecakapan seorang PR disini akan diuji sejauhmana mampu adaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Dua hal lagi yang harus dimiliki seorang PR adalah public speaking dan kemampuan lobi.
Social Footer