Kecepatan teknologi melebihi kecepatan aturan, sehingga sering menimbulkan riak-riak konflik yang terkadang berujung pada kekerasan.
~ Karnoto ~
Jika Anda sempat mampir di ibukota Propinsi Banten, Kota Serang maka akan melihat pemandangan baru soal kendaraan roda dua. Hilir mudik pengendara roda dua dengan jaket hijau ini mulai rapat dan memadati jalan di Kota Serang. Mereka juga sering terlihat masuk ke komplek perumahan, di resto dan makanan cepat saji.
Mereka adalah sopir dari GoJek, sebuah perusahaan teknologi asal Indonesia yang melayani angkutan melalui jasa ojek. Perusahaan ini didirikan pada tahun 2010 di Jakarta oleh Nadiem Makarim. GoJoke cukup terkenal, terutama di kota-kota besar dan daerah yang ekonominya mulai menggeliat, seperti Kota Serang.
Problem kemudian muncul ketika mereka harus berhadapan dengan ojek konvensional yang tidak menggunakan digital sebagai core bisnisnya. Protes dan keberatan pun disampaikan mereka kepada instansi terkait.
"Tadinya saya nunggu Gojek, tapi katanya tidak boleh masuk ke komplek. Padahal enakan Gojek, ongkosnya pasti dan ga perlu repot-repot keluar," kata salah seorang ibu kepada BantenPerspektif.Com. Dari sosial memang ini hampir dipastikan akan menggerus ojek konvensional, karena kemudahan pelayanan yang dimiliki Gojek.
Namun dari sisi realitas bisnis, Gojek tak bisa disalahkan karena memang pasar sekarang menginginkan yang serba praktis. Dan salah satu penunjang kepraktisan itu adalah sarana teknologi informasi atau tepatnya melalui aplikasi.
Apalagi bagi mereka yang memiliki mobilitas tinggi dan tak mau repot dengan urusan yang sepele, seperti ambil berkas, anterin paket sampai membeli makanan cepat saji. Tampaknya ini mirip-mirip dengan nasib Wartel, dimana saat kali pertama muncul bisnis ini begitu menggoda karena keuntungannya yang melimpah.
Namun ketika datang teknologi baru bernama handphone maka Wartel pun lenyap tak ada rimbanya. Pemerintaha daerah jika dihadapkan pada posisi ini pasti serba sulit. Sebab satu sisi ia dipaksa melindungi mata pencaharian tukang ojek konvensional, tapi sisi lain dia juga harus memudahkan masyarakat lain agar aktivitas ekonominya bisa terbantu.
Sayangnya, tukang ojek konvensional yang biasa nongkrong tidak semuanya bisa adaptasi dengan perubahan itu. Jika mereka bisa menyesuaikan maka sebetulnya tidak ada masalah, mereka tinggal mendaftarkan diri ke Gojek.
Kesulitan mengikuti perubahan zaman yang serba digital inilah yang masih menjadi dinding pemisah antara mereka dengan GoJek. Sebab, sopir yang menjadi karyawan GoJek juga masyarakat juga yang membutuhkan mata pencaharian. Dalam konteks ini GoJek jelas sangat membantu untuk mengurangi pengangguran, khususnya pengangguran terdidik karena rata-rata mereka adalah alumni SMP dan SLTA.
Cara kerja yang fleksibel membuat mereka lebih tertarik untuk menjadi sopir GoJek daripada harus bekerja di pabrik. Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa perubahan zaman pasti terjadi, maka siapapun kita harus mampu melihat gejala-gejala perubahan itu jika tidak ingin tergilas oleh zaman itu sendiri.
Redaksi | BantenPerspektif. Com
0 Komentar