Setiap produk akan mengalami product life cycle, yaitu sebuah siklus yang akan menguji daya tahan brand tersebut.
Partai wong cilik, itulah brand PDI Perjuangan yang kemudian mampu menjadi daya tarik sebagian publik. Tagline sebagai penjelmaan nasib rakyat jelata ini cukup berkesan khususnya pada lapisan grasroot. Brand ini diperkuat saat Joko Widodo maju sebagai calon Presiden RI beberapa tahun lalu. Sosok Jokowi pun dikemas dan diracik sedemikian rupa untuk bisa mewakil sebagian masyarakat, khususnya grasroot.Inilah yang kemudian memunculkan tagline Jokowi Adalah Kita. Tagline ini memberikan pesan bahwa Jokowi yang merupakan kader PDI Perjuangan merupakan representasi sebagian besar masyarakat, khususnya kaum jelata.
Brand PDI Perjuangan match dengan brand personal Jokowi. Wajar kalau kemudian Jokowi dan PDI Perjuangan meraup suara dan bisa memenangkan medan pertempuran politik. Namun politik berjalan dinamis.
Dinamika politik pada umumnya bergantung pada perkembangan isu dan momentum. Momentum Jokowi tentu berbeda dengan momentum SBY. Momentum Soeharto juga pasti berbeda dengan momentum saat BJ Habibie menjadi presiden.
Begitu pula momentum kemenangan Partai Demokrat berbeda dengan momentum kemenangan saat PDI Perjuangan meraih kemenangan. Momentum politik terkadang berjalan tidak beraturan dan sering memberikan efek kejut terhadap politisi dan partai politik.
Dalam pengamatan saya, hampir semua partai politik menghadapi momentum yang mengejutkan. Mulai dari Partai Golkar, Demokrat, PKS, Gerindra, PPP, PKB termasuk partai-partai baru. Disinilah daya tahan kaderisasi dan soliditas kader partai tersebut diuji. Jika gagal maka akan terpental, jika kuat dalam mendidik kader partainya maka justru akan menjadi pemicu untuk semakin kokoh.
Pada pemilu 2014, momentum politik menjadi milik PDI Perjuangan. Namun apakah momentum Pemilu 2019 akan kembali menjadi miliki partai yang khas dengan warna merah ini? Belum tentu. Apalagi jika dikaitkan dengan sejumlah isu yang terjadi belakangan ini.
Sejumlah kebijakan Jokowi yang menjadi representasi PDI Perjuangan mendapat kritik keras dari publik. Mulai dari pencabutan subsidi, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan bahan bakar dan penjualan aset milik BUMN akan menjadi batu sandungan PDI Perjuangan.
Sementara sisi lain, konsolidasi partai Islam semakin kokoh kendati belum semua partai bulan dalam satu kubu. Sebetulnya apa yang terjadi di PDI Perjuangan saat ini hal wajar dan pernah menimpa pula kepada partai lain.
Partai Golkar juga pernah mengalami pada posisi terjepit dan terpojokan oleh situasi momentum. Partai Demokrat juga sama, pada momentum tertentu bisa meraup suara banyak tapi juga pernah mengalami posisi terjepit seperti halnya Golkar.
Posisi serupa juga pernah dialami Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai Islam ini pernah menikmati masa keemasan, namun juga pernah mengalami masa dimana posisinya terjepit. Itulah yang saya maksud bahwa setiap produk, dalam konteks ini partai politik mengalami product life cycle.
Ada tahapan dalam siklus tersebut, yaitu tahap introduction (pengenalan), growth (pertumbuhan), mature (mapan) dan decline (kejenuhan). Yang membedakan antara satu partai dengan partai lain hanyalah masa jedah antara level mature ke decline.
Ada partai yang hanya mampu bertahan di masa kemapanan satu periode, dua periode bahkan sampai beberapa kali periode. Disinilah daya tahan brand partai politik diuji, apakah mampu mempertahankan atau justru babak belur dan terjun bebas.
Dalam kondisi saat ini, PDI Perjuangan sebetulnya bisa membaca tanda-tanda dan selayaknya segera berbenah jika menginginkan brand sebagai partai wong cilik bertahan lama. Pemilu 2019 menjadi ujian penting bagi PDI Perjuangan apakah brand tersebut masih layak atau memang harus melakukan Re-Branding partai. Re-Branding partai pernah dilakukan sejumlah partai, diantaranya PKS dan Golkar.
Penulis : Karnoto
Pengelola BantenPerspektif.Com
0 Komentar