BANTENPERSPEKTIF.COM, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa khusus untuk penyelenggaraan Wisata Syariah. Dalam fatwa tersebut MUI menegaskan hal tersebut dibolehkan.
Tak hanya mengeluarkan fatwa dibolehkannya penyelenggaraan Wisata Syariah, MUI juga memberikan rambu - rambu bagi pengelola hotel di sekitar kawasan wisata yang dijadikan brand sebagai Wisata Syariah.
Apa saja Fatwa MUI tentang Wisata Syariah, berikut ini isinya.
FATWA
DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJELIS ULAMA INDONESIA
NO: 108/DSN-MUI(X) 2016
Tentang
PEDOMAN PENYELENGGARAAN PARIWISATA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) setelah,
Menimbang:
a. bahwa saat ini sektor periwisata berbasis syariah mulai berkembang di dunia termasuk Indonesia, sehingga memerlukan pedoman penyelenggaraan pariwisata berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa ketentuan hukum mengenai pedoman penyelenggaraan pariwisata berdasarkan prinsip syariah belum diatur dalam fatwa DSN-MUI;
c. bahwa atas dasar pertimbangan huruf a dan b, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang pedoman penyelenggaraan pariwisata berdasarkan prinsip syariah.
Mengingat:
1. Firman Allah S.W.T.:
a. Q.S.Al-Mulk (67): 15:
"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
b. Q.S. Nuh (71): 19-20:
"Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu melakukan perjalanan di bumi yang luas itu."
c. Q.S.Al-Rum (30): 9:
"Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka'? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri."
d. Q.S. Al-Ankabut (29):20:
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
e. Q.S.Al-Jumu'ah (62): l0:
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."
2. Hadis Nabi s.a.w.:
a. Hadis Nabi riwayat Ahmad:
"Dari Abi Hurairah, bahwasanya Nabi saw. bersabda: Bepergianlah kalian niscaya kalian menjadi sehat dan berperanglah niscaya kalian akan tercukupi."
b. Hadis riwayat al-Baihaqi:
"Dari lbnu Abbas ra. Berkata, bahvva Rasulullah saw. bersabda: Bepergianlah, kalian akan sehat dan tercukupi."
c. Hadis riwayat Abdu al-Razzaq:
"Dari Ma'mar, dari Thawus dari ayahnya, berkata: bahwa Umar berkata: Bepergianlah, kalian akan sehat dan akan mendapat rezeki."
d. Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim:
"Janganlah kalian masuk ke tempat satu kaum yang mendapat azab kecuali kalian dalam keadaan menangis (di tempat tersebut). Jika tidak bisa menangis, maka janganlah kamu masuk ke mereka, agar kalian tidak tertimpa musibah yang menimpa mereka (kaum Tsamud). "
3. Kaidah fikih:
"Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali ada daliI yang mengharamkannya".
"Apabila sempit suatu urusan, maka (urusan itu) menjadi luas."
"Mencegah kerugian lebih didahulukan daripada mengambil maslahat. "
"Sesuatu yang haram dikerjakan maka haram juga diminta/dicari"
4. Pendapat para ulama:
a. Al-Qasirni dalam Mahasin al-Ta'wil, ketika menjelaskan kata siiruu pada Q.S. Al-Naml (27):69, berkata: "Mereka (yang diperintahkan bepergian) adalah orang-orang yang bepergian ke berbagai tempat untuk melihat peninggalan bersejarah dalam rangka mengambil pelaiaran dan manfaat lain."
b. Ibn 'Abidin dalam Radd al-Muhtar:
"(Hukum asal) bepergian adalah mubah kecuali disebabkan kondisi lain seperti haji atau jihad, maka meniadi ibadah (ketaatan), atau untuk tujuan merampok maka bepergian termasuk maksiat."
Memperhatikan:
1. Fatwa MUI No. 287 tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi;
2.Fatwa MUI No. 6/MUNAS VII/MUI/10/2005 tentang Kriteria Maslahat;
3. Fatwa MUI tentang Panti Pijat tanggal 19 Juli 1982;
4. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Sabtu, tanggal 01 Oktober 2016 di Bogor;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: FATWA TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PARIWISATA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
Pertama: Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara;
2. Wisata Syariah adalah wisata yang sesuai dengan prinsip syariah;
3. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah;
4. Pariwisata Syariah adalah pariwisata yang sesuai dengan prinsip syariah;
5. Destinasi Wisata Syariah adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas ibadah dan umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan yang sesuai dengan prinsip syariah;
6. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata;
7. Biro Perjalanan Wisata Syariah (BPWS) adalah kegiatan usaha yang bersifat komersial yang mengatur, dan menyediakan pelayanan bagi seseorang atau sekelompok orang, untuk melakukan perjalanan dengan tujuan utama berwisata yang sesuai dengan prinsip syariah;
8. Pemandu Wisata adalah orang yang memandu dalam pariwisata syariah;
9. Pengusaha Pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata;
10. Usaha Hotel Syariah adalah penyediaan akomodasi berupa kamar-kamar di dalam suatu bangunan yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan dan atau fasilitas lainnya secara harian dengan tujuan memperoleh keuntungan yang dijalankan sesuai prinsip syariah;
11. Kriteria Usaha Hotel Syariah adalah rumusan kualifikasi dan atau klasifikasi yang mencakup aspek produk, pelayanan, dan pengelolaan;
12. Terapis adalah pihak yang melakukan spa, sauna, dan atau massage;
13. Akad ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran atau upah;
14. Akad wakalah bil ujrah adalah akad pemberian kuasa yang disertai dengan ujrah dari hotel syariah kepada BPWS untuk melakukan pernasaran.
15. Akad ju'alah adalah janji atau komitmen (iltizam) perusahaan untuk memberikan imbalan (reward/'iwadh/ju'l) tertentu kepada pekerja ('amil) atas pencapaian hasil (prestasi/natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan (obyek akad ju'alah).
Kedua: Ketentuan Hukum
Penyelenggaraan pariwisata berdasarkan prinsip syariah boleh dilakukan dengan syarat mengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini.
Ketiga: Prinsip Umum Penyelenggaraan Pariwisata Syariah
Penyelenggaraan wisata wajib:
1. Terhindar dari kemusyrikan, kemaksiatan, kemafsadatan, tabdzir/israf, dan kemunkaran ;
2. Menciptakan kemaslahatan dan kemanfaatan baik secara material maupun spiritual.
Keempat: Ketentuan terkait Para Pihak dan Akad
1. Pihak-pihak yang Berakad
Pihak-pihak dalam penyelenggaraan Pariwisata Syariah adalah:
a. Wisatawan;
b. Biro Perjalanan Wisata Syariah (BPWS);
c. Pengusaha Pariwisata:
d. Hotel syariah;
e. Pemandu Wisata:
f. Terapis.
2. Akad antar Pihak
a. Akad antara Wisatawan dengan BPWS adalah akad ijarah;
b. Akad antara BPWS dengan Pemandu Wisata adalah akad ijarah atau ju'alah;
c. Akad antara Wisatawan dengan Pengusaha Pariwisata adalah ijarah;
d. Akad antara hotel syariah dengan wisatawan adalah akad ijarah;
e. Akad antara hotel syariah dengan BPWS untuk pemasaran adalah akad wakalah bil ujrah;
f. Akad antara Wisatawan dengan Terapis adalah akad ijarah;
g. Akad untuk penyelenggaraan asuransi wisata, penyimpanan dan pengelolaan serta pengembangan dana pariwisata wajib menggunakan akad-akad yang sesuai fatwa dengan DSN-MUI dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kelima: Ketentuan terkait Hotel Syariah
1. Hotel syariah tidak boleh menyediakan fasilitas akses pornografi dan tindakan asusila;
2. Hotel syariah tidak boleh menyediakan fasilitas hiburan yang mengarah pada kemusyrikan, maksiat, pornografi dan atau tindak asusila:
3. Makanan dan minuman yang disediakan hotel syariah wajib telah mendapat sertifikat halal dari MUI;
4. Menyediakan fasilitas, peralatan dan sarana yang memadai untuk pelaksanaan ibadah, termasuk fasilitas bersuci;
5. Pengelola dan karyawan/karyawati hotel wajib mengenakan pakaian yang sesuai dengan syariah;
6. Hotel syariah wajib meniiliki pedoman dan/atau panduan mengenai prosedur pelayanan hotel guna menjamin terselenggaranya pelayanan hotel yang sesuai dengan prinsip syariah;
7. Hotel syariah wajib menggunakan jasa Lembaga Keuangan Syariah dalam melakukan pelayanan.
Keenam: Ketentuan terkait Wisatawan
Wisatawan wajib memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:
1. Berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah dengan menghindarkan diri dari syirik, maksiat, munkar, dan kerusakan (fasad);
2. Menjaga kewajiban ibadah selama berwisata;
3. Menjaga akhlak mulia;
4. Menghindari destinasi wisata yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Ketujuh: Ketentuan Destinasi Wisata
1. Destinasi wisata wajib diarahkan pada ikhtiar untuk:
a. Mewujudkan kemaslahatan umum,
b. Pencerahan, penyegaran dan penenangan;
c. Memelihara amanah, keamanan dan kenyamanan;
d. Mewujudkan kebaikan yang bersifat universal dan inklusif;
e. Memelihara kebersihan, kelestarian alam, sanitasi, dan lingkungan;
f. Menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan kearifan lokal yang tidak melanggar prinsip syariah.
2. Destinasi wisata wajib memiliki:
a. Fasilitas ibadah yang layak pakai, mudah dijangkau dan memenuhi persyaratan syariah;
b. Makanan dan minuman halal yang terjamin kehalalannya dengan Sertifikat Halal MUI
3. Destinasi wisata wajib terhindar dari:
a. Kemusyrikan dan khurafat;
b. Maksiat, zina, pornografi, pornoaksi, minuman keras, narkoba dan judi;
c. Pertunjukan seni dan budaya sefta atraksi yang beftentangan prinsip-prinsip syariah.
Kedelapan: Ketentuan Spa, Sauna dan Massage
Spa, sauna, dan massage yang dilakukan wajib memenuhi ketentuan berikut:
1. Menggunakan bahan yang halal dan tidak najis yang terjamin kehalalannya dengan Sertifikat Halal MUI;
2. Terhindar dari pornoaksi dan pornografi;
3. Terjaganya kehormatan wisatawan;
4. Terapis laki-laki hanya boleh melakukan spa, sauna, dan massage kepada wisatawan laki-laki; dan terapis wanita hanya boleh melakukan spa, sauna, dan massage kepada wisatawan wanita;
5. Tersedia sarana yang memudahkan untuk melakukan ibadah.
Kesembilan: Ketentuan terkait Biro Perjalanan Wisata Syariah
Biro Perjalanan Wisata Syariah wajib memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:
1. Menyelenggarakan paket wisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
2. Memiliki daftar akomodasi dan destinasi wisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
3. Memiliki daftar penyedia makanan dan minuman halal yang memiliki Serlifikat Halal MUI
4. Menggunakan jasa Lembaga Keuangan Syariah dalam melakukan pelayanan jasa wisata, baik bank, asuransi, lembaga pembiayaan, lembaga penjaminan, maupun dana pensiun;
5. Mengelola dana dan investasinya wajib sesuai dengan prinsip syariah;
6. Wajib memiliki panduan wisata yang dapat mencegah terjadinya tindakan syirik, khurafat, maksiat, zina, pornografi, pornoaksi, minuman keras, narkoba dan judi.
Kesepuluh: Ketentuan terkait Pemandu Wisata Syariah
Pemandu Wisata Syariah wajib memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:
1. Memahami dan mampu melaksanakan nilai-nilai syariah dalam menjalankan tugas; terutama yang berkaitan dengan fikih pariwisata;
2. Berakhlak mulia, komunikatif, ramah, jujur dan bertanggungjawab;
3. Memiliki kornpetensi kerja sesuai standar profesi yang berlaku yang dibuktikan dengan sertifikat;
4. Berpenampilan sopan dan menarik sesuai dengan nilai dan prinsip-prinsip syariah.
Kesebelas: Ketentuan Penutup
1. Pelaksanaan fatwa ini diatur lebih lanjut dalam Pedoman Implementasi Fatwa;
2. Apabila terjadi perselisihan di antara para pihak dalam penyelenggaraan pariwisata berdasarkan prinsip syariah, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah;
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan akan diubah serta disempurnakan sebagaimana mestinya jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeIiruan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 29 Dzulhijah 1436 H
01 Oktober2016 M
DEWAN SYARIAH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua Umum Sekretaris
DR. K.H. MA'RUF AMIN DR. H Anwar Abbas, MM., M.Ag
0 Komentar