BANTENPERSPEKTIF.COM, OPINI PUBLIK - Memakai jilbab hematnya dirasa lebih merugikan bagi muslimah yang bekerja di tempat yang kurang mendukung kondisinya. Masih banyak orang Indonesia yang memandang cadar sebagai suatu hal yang ekstrim. Perempuan yang memakai cadar tidak akan direkrut dalam pekerjaan. Ditambah lagi, ada peraturan kerja yang tidak memperbolehkan perempuan mengenakan cadar (Brenner, 1996).
Terkait pelarangan pemakaian cadar, akhir-akhir ini ada kontroversi yang panas di Indonesia. Berdasarkan lansiran dari detik.com, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi memunculkan wacana pelarangan cadar di lembaga pemerintah.
Menag sendiri beralasan melakukan pelarangan cadar dengan tujuan keamanan karena berhembus isu akan keluarnya aturan di pemerintahan yang tidak boleh memakai helm atau kondisi muka tertutup saat memasuki kantor pemerintah (Permana, 2019).
Selain itu, menag berpendapat bahwa pelarangan cadar dilakukan untuk menanggulangi radikalisme beserta cap radikal, karena dikhawatirkan akan menimbulkan diskriminasi. Padahal cadar tidak bisa langsung dikaitkan dengan radikal. Hal yang perlu dipahami ialah bahwa radikal adalah perubahan yang amat keras terhadap sesuatu hingga akar-akarnya berubah secara drastis.
Bahkan berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) pada 2018 yang melibatkan 1.135 responden dari 34 provinsi di Indonesia, 63,3% orang mempercayai bahwa muslimah yang bercadar tidak radikal, 12,6 % meyakini bahwa cadar bersangkut paut dengan radikal dan sisanya tidak tahu (Wijaya, 2018).
Berangkat dari makna radikal dan data tentang persepsi cadar, maka sepatutnya dipercayai kalau cadar bukanlah hal yang radikal. Malahan cadar dipergunakan sebagai simbol perjuangan muslimah dalam realita sosial yang tengah terjadi. Opsi mengenakan cadar juga dipandang sebagai bentuk kesadaran terhadap perubahan diri dan sosial.
Beberapa feminis menurut (Bullock, 2010) beropini bahwa cadar merupakan bentuk pembebasan diri dari penindasan laki-laki terhadap perempuan, dimana laki-laki memandang perempuan hanya sebagai objektifikasi visual di dunia nyata.
Perempuan dikonstruksi seolah-olah hanya barang yang digunakan untuk memuaskan hasrat seksual laki-laki. Perempuan yang tadinya manusia kemudian perlahan-lahan menjadi alat dan mulai secara tidak sadar mulai menyangkal dirinya sebagai manusia.
Hadinya cadar menjadi kesegaran baru yang melepaskan perempuan dari perangkap objektifikasi. Tatapan hidung belang pun hilang bersamaan terpakainya cadar di paras seorang perempuan. Perempuan akhirnya sadar bahwa dirinya manusia. Raganya kemudian menolak bahwa dirinya adalah alat.
Lebih hebatnya lagi, cadar menjadi sebuah identitas bagi seorang muslimah yang membuat dirinya merasa istimewa. Perasaan inilah yang membuat muslimah merasa bahwa agama dan keyakinannya benar-benar penting dalam hidupnya (Bullock, 2010).
Kemudian muslimah menganggap bahwa menggunakan cadar berarti tanggung jawab yang tinggi. Beban emosi diemban oleh muslimah karena kekhawatiran akan dosa baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja dari menggunakan cadar.
Tanggung jawab dan kekhwatiran ini yang menghantarkan seorang muslimah sehingga memiliki kesadaran dalam menutup aurat. Menggunakan cadar kemudian meyakinkan diri muslimah untuk senantiasa menuruti syariat islam.
Muslimah yang mengenakan cadar juga akan lebih berhati-hati dalam bersikap. Laiknya bergosip dan menonton pun benar-benar berhati-hati dalam melakukannya. Namun kedisiplinan inilah yang menjadikan muslimah termotivasi terus untuk menegakkan agama langit ini.
Walau cadar adalah simbol pembebasan dari diskriminasi terhadap perempuan, namun muslimah yang mengenakan cadar masihlah minoritas (Mule & Barthel, 1992). Sebab penggunaan cadar ini masih banyak pro-kontra. Ada yang berpendapat bahwa cadar tidak diatur dalam Al-Qur’an, maka cukup dipakai saat shalat saja. Pendapat lainnya mengatakan bahwa cadar sangat diperlukan untuk menutup aurat wajah.
Namun poin yang perlu ditekankan adalah bahwa penggunaan cadar ialah kebebasan masing-masing individu. Terkait konsekuensi yang didapatkan dari memakai cadar, itu adalah tanggung jawab pribadi.
Menurut lansiran survei KedaiKOPI tahun 2018, 54% orang menganggap bahwa cadar tidak perlu diatur pemerintah. Hanya 21,5% saja yang sepakat bahwa cadar harus diatur pemerintah (sisanya menjawab tidak tahu). Hal ini memperkokoh kerangka berpikir yakni penggunaan cadar merupakan ranah privasi, bukan ranah publik yang harus diatur pemerintah.
Namun, negara tetap wajib menjamin kemerdekaan beragama masyarakat Indonesia sesuai pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan bagi tiap penduduk untuk menganut dan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing”. Landasan hukum tertinggi ini menjadi landasan bahwa cadar sebagai bentuk kemerdekaan muslimah wajib dijamin oleh negara.
Penulis,
Habibah Auni, Mahasiswa UGM Asal Kota Tangsel
Social Footer