Breaking News

Menakar Elektabilitas Erdogan pada Pemilu 2023



Beberapa hari yang lalu, dunia dikagetkan oleh keberanian seorang pemimpin negara. Bagaimana tidak? Beliau mengubah status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid. Yang notabenenya, merupakan warisan dunia. 
Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan menegaskan bahwa apa yang dilakukannya adalah hak negara Turki. Tentu saja langkah yang dilakukan Erdogan mengundang banyak tepuk tangan, namun tak sedikit juga yang mencibirnya. 
Bagi mereka yang kontra, alasannya sederhana; perilaku Erdogan yang dinilai ‘kurang wajar’ ini, dianggap kurang etis. Sebab, pengubahan status Hagia Sophia menjadi masjid merupakan bentuk pelanggaran terhadap kerukunan antar umat beragama. 
Tudingan tidak hanya berhenti di situ saja; sampai-sampai beberapa analis berpendapat bahwa Erdogan melakukan itu untuk menggalang suara menjelang pemilu Turki pada tahun 2023. Lantas, apakah kenyataannya benar demikian?
Sejarah singkat Erdogan dan Partai AKP
Ada baiknya dalam memahami arah politik Erdogan dan partainya (AKP), kita mengenali terlebih dahulu sejarah singkat keduanya. Yang mana, semua berawal dari 28 Februari 1997, terjadi peristiwa bernama 28 February Process, dimana militer Kemalis memaksa Perdana Menteri Necmetin Erbakan yang berasal dari partai islam mudur dari jabatannya.
Akibat peristiwa ini, Refah Party – yang dipimpin Erbakan – dimana dibubarkan pada tahun 1998, terbagi menjadi dua fraksi, yakni fraksi tradisionalis dan reformis. 
Perbedaan di antara kedua fraksi terletak kepada sikap terhadap pembubaran Refah Party, dimana fraksi tradisionalis menolak pembubaran, sedangkan fraksi reformis mendukung demokratisasi dan (secara tidak langsung) pembubaran. Kubu reformis inilah yang pada tahun 2001, akhirnya mendirikan Partai AKP yang berlandaskan kepada demokratik konservatif.
Tentu saja sebagai embrio baru yang mendinginkan iklim politik yang sempat panas, membuat partai ini memenangkan pemilu setahun kemudian. Dengan membawakan pesan-pesan demokrasi, hak asasi manusia, dan kedamaian, mayoritas warga Turki terkesima dengannya. 
Sebab selain misi politik yang menjanjikan, rezim Partai AKP berhasil memajukan perekonomian Turki secara pesat. Sebab rezim, mengutip Gunter (2016) dalam jurnalnya yang bertajuk Erdogan and the Decline of Turkey, berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Turki sebanyak 7.5%, nilai investasi luar negeri meningkat dari 1.2 menjadi 20 milyar US dolar, dan menghentikan inflasi. Kemajuan ekonomi ini pula lah yang mendongkrak popularitas Erdogan pada tahun 2007 dan 2011.   
Merosotnya popularitas Erdogan
Kendati demikian, puncak menurunnya popularitas Erdogan terjadi pada tahun 2016, lantaran adanya kudeta terhadap dirinya.
Dalam merespons peristiwa tersebut, pemerintahan AKP menangkap sekitar puluhan ribu orang, lantaran berafiliasi dengan terduga pemimpin pemberontakan – yakni komunitas Gulen. Yang mana secara tidak langsung, mengutip bcc.co.uk, kebijakan ini mengakibatkan peningkatan angka pengangguran sebesar 12% dan potongan nilai kurs Lira.
Imbas kudeta, setahun kemudian Turki mengubah sistem pemeritahannnya dari parlementer menjadi presidensil. Dimana konsekuensi dari sistem baru ini terletak pada poros kekuatan negara, yang sekarang berada di tangan Erdogan. Hal yang wajar dilakukan, mengingat sistem presidensil dapat mengefisienkan kerja pemerintahan dan mencegah kudeta. 
Idealnya dengan kelebihan dari sistem presidensil, seharusnya kinerja pemerintah membaik dan memperkuat penokohan Erdogan (dalam negeri). Alih-alih seperti itu, faktanya popularitas Erdogan menurun drastis, lantaran ekonomi Turki kacau balau selama dua tahun terakhir.
Hal ini dibuktikan dari merosotnya kurs Lira terhadap dolar sebanyak 28% pada Agustus 2018. Ditambah lagi dengan utang negara yang membengkak, cadangan devisa berkurang, dan angka pengangguran yang tinggi.
Kondisi inilah yang membuat AKP kalah kepada oposisi utama (CHP) – partai sekuler, di pemilu Wali Kota Istanbul pada tahun 2019.
Meskipun partai AKP berhasil memenangkan perhelatan politik itu di kancah nasional, tentu ini menjadi tamparan keras untuk Erdogan dan partainya yang memulai karir politiknya dari kota tersebut. Pun pemilih mayoritas partai tersebut, kebanyakan masyarakat yang bergolongan islam konservatif. Di luar itu, pendukung Partai AKP sangatlah minim. 
Masa pandemi pun turut menjatuhkan popularitas Erdogan, dikarenakan Turki secara garis besar menghadapi tiga krisis, yakni krisis kesehatan, krisis ekonomi, dan krisis sosial. Pertama, terjadinya krisis kesehatan dikontribusi oleh jumlah kasus Covid-19 yang membengkak.
Menurut data Worldometers, Turki hingga (19/05) menduduki posisi ke-9 dengan kasus terjangkit terbanyak secara global dengan 150.593 kasus. 
Kedua, krisis ekonomi yang disebabkan oleh resesi ekonomi. Mengingat penjualan produknya yang sangat bergantung kepada investasi dari negara uni eropa. Dan ini diperparah dengan kekukuhan Turki yang tidak mau meminjam dana dari IMF.  
Ketiga, krisis sosial yang disebabkan oleh kebijakan Erdogan sendiri, yang mana mengontrol penuh penggunaan media sosial. Yang menurut beberapa analis, alasan Erdogan membatasi kegiatan media sosial warganya dikarenakan kampanye bertagar negatif mengenai pemilihan atas dirinya. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kampanye bertagar #OyMoyWok (“tidak akan mendapat suaraku”) di twitter. 
Apakah Erdogan akan kalah? 
Intinya, krisis ekonomi, politik, dan kesehatan beberapa tahun belakangan, turut menyumbang turunnya popularitas Erdogan. Hal inilah yang kemungkinan besar membuat orang-orang akan memalingkan mata dari opsi memilih Erdogan sebagai presiden berikutnya.
Maka wajar saja jika Erdogan mencoba meningkatkan citra dirinya melalui pengubahan status Hagia Sophia, mengingat bangunan Istanbul tersebut merupakan bagian yang sangat melekat bagi masyarakat Turki.
Selain itu, penelitian mengenai kondisi sekulerisme di Turki selama dua tahun belakangan menunjukkan, bahwa banyak anak muda di Turki yang kurang agamis. Hal inilah yang membuat iklim politik tahun 2023 kurang mendukung AKP yang islam konservatif. 
Terlebih lagi, sekarang oposisi AKP menggunakan taktik politik yang sama, yakni memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak. Oposisi mengincar dan menggencarkan kampanye kasat mata melalui tingkatan lokal.
Ini akan menjadi ancaman taktik politik Erdogan ke depannya. Sehingga di tingkatan lokal, Erdogan dan AKP harus mereformulasi ulang strategi polik yang menjadi ciri khas keduanya, yang tentunya dapat memperoleh banyak massa.
Dalam taraf nasional, Erdogan dan AKP harus membuat kebijakan nasional yang sangat populis. Memaksimalkan penggalangan suara dari basis kekuatannya, yakni kaum islam konservatif.
Langkah yang diambil harus cepat dan memukau publik, kalau bisa sebelum dicaplok oleh partai yang dipimpin oleh mantan Menteri Keuangan Ali Babacan dan mantan Perdana Menteri Ahmed Davutoglu, yang basis pendukungnya adalah simpatisan Partai AKP yang kecewa. 
Erdogan dan AKP, mau tak mau harus memundurkan kebijakan luar negerinya selangkah lagi. Alih-alih berfokus menjadi kekuatan dunia dan mengontrol Timur Tengah, seyogyanya mulai sekarang Erdogan dan AKP mengadaptasikan prioritas kebijakannya dengan iklim politik Turki sekarang.
Di samping itu, lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Sudah saatnya pemerintahan Turki mewujudkan demokrasi, menghapus kebijakan yang otoriter, serta menggandeng semua oposisi.
Penulis | Habibah Auni
Mahasiswa Teknik Fisika UGM Jogjakarta
Domisil Villa Bintaro Regency, Tangerang Selatan

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close