Peran literasi dalam perluasan dakwah Islam menjadi instrumen strategis sejak zaman Rasulullah saw.
Rasulullah saw menempatkan literasi menjadi bagian strategis dalam dakwahnya terutama ketika pada positioning ekspansi Islam. Itulah mengapa Rasulullah saw memberikan tugas khusus soal literasi ini kepada salah seorang sahabatnya yang dianggap memiliki skil literasi.
Sahabat ini adalah Zaid bin Tsabit, dialah kelak yang menjadi pena Rasulullah Saw sekaligus tokoh literasi Muslim yang fenomenal sepanjang sejarah. Zaid bin Tsabitlah yang bertugas sebagai penerjemah apa yang disampaikan Rasulullah saat berkomunikasi dengan orang Yahudi.
Zaid bin Tsabiti memang sudah diplot oleh Rasulullah saw untuk menjadi seorang penulis. Itulah mengapa semasa Rasulullah saw hidup, Zaid bin Tsabit diminta untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai seorang penulis.
Dia memiliki kemampuan literasi yang cerdas dibandingkan penulis lainnya ketika itu, karena sebenarnya ada kurang lebih 48 sahabat nabi yang juga memiliki skill literasi. Namun diantara mereka Zaid bin Tsabit memiliki kekhasan maka dia dikader secara khusus oleh Rasulullah saw untuk menjadi penulis handal.
Dengan kompetensinya maka dimasa Khalifah Abu Bakar atas ide dari Umar bin Khattab Zaid bin Tsabit diberi tugas khusus untuk membukukan serpihan tulisan Al Qur'an. Zaid mengakui jika ini tugas berat karena tulisan yang akan ia bukukan adalah dokumentasi sejarah yang akan membawa arah hidup umat Muslim.
Dan Zaid bin Tsabit berhasil melakukan itu sehingga bisa dinikmati generasi Muslim sampai sekarang. Dari sini kita belajar bahwa begitu strategisnya literasi bagi seorang Muslim. Apalagi dizaman seperti sekarang ini, dimana "perang" informasi begitu dahsyat, rumit dan ganas.
Menghadapi perang literasi yang ganas tidak cukup dengan cara ngedumel, hanya menulis caption apalagi status. Peluru yang dipakai untuk itu haruslah seimbang. Ketika ada peluru literasi tentang politik yang keliru maka sejatinya kita pun mengimbangi dengan peluru literasi.
Kalau ada peluru literasi tentang dunia kesehatan yang keliru maka sejatinya kita mengimbanginya dengan peluru literasi kesehatan yang benar. Kita paham bahwa daya jangakau literasi lebih luas seperti bom atom, sekali diluncurkan maka ada banyak orang "terinfeksi" tulisan itu melalui fikirannya dan cara pandangnya.
Itulah mengapa saya senang ketika mendengar sejumlah ustadz kini bukan hanya pandai berceramah tetapi juga telah menulis buku. Saya senang ketika ada politisi Muslim yang profesional di parlemen tapi juga menjadi seorang penulis.
Saya senang ketika ada dokter Muslim bukan hanya pandai memberikan resep, tetapi dia juga mampu menuliskan sebuah buku. Saya senang ketika ada pengusaha Muslim yang bukan hanya memiliki insting bisnis yang jitu tetapi juga menjadi seorang penulis.
Karena kesadaran ini pula mengapa saya semangat ketika diskusi dengan Nurrotul Uyun, Wakil Ketua DRPD Kota Cilegon tentang keinginannya membuat buku. Saya pun memberikan beberapa saran dan kini mulai berjalan dan ia mulai menulis rutin. (silahkan klik www.uyun.co.id).
Menulis itu pada hakikatnya adalah cara kita menyatukan energi fikiran, hati dan tangan. Kecerdasan seseorang dalam berpolitik, berbisnis maupun akademik belum sempurna kalau tidak ada hasil karya tulisan.
Selain itu, kita juga sadar bahwa memori otak manusia itu terbatas daya rekamnya maka menuliskan ide, fikiran atapun catatan menjadi urgen supaya fikiran kita bisa dinikmati oleh generasi penerus.
Sering saya samapikan bahwa hanya ada dua pilihan dalam hidup supaya nama kita tetap dikenang, yaitu ditulis atau menulis. Ada memang orang - orang tertentu yang biografinya, fikirannya ditulis oleh orang lain, tetapi kalau kita merasa tidak memiliki nama sekuat mereka langkah bijak adalah menulis fikiran kita sendiri, serpihan sejarah hidup kita sendiri.
Kita mesti belajar dari Zaid bin Tsabit, Anda bisa bayangkan andaikan Rasulullah saw tidak berfikiran jauh soal literasi dan tidak mengkader Zaid bin Tsabit untuk menjadi penulis sejarah Islam maka kita harus membaca apa?
Strategisnya peran literasi sejatinya disadari oleh mereka yang menjadi kelompok rujukan, memiliki fikiran atau ide - ide tentang spesialisasi yang dimiliki. Memang harus dilatih agar tulisannya memiliki rasa sehingga terasa nikmat ketika dibaca.
Diujung tulisan ini saya ingin bercerita pengalaman pribadi soal dahsyatnya sebuah tulisan. Ketika itu saya masih bekerja di salah satu media mainstrem di Provinsi Banten yaitu Radar Banten.
Waktu itu saya menulis feature (berita yang dikemas dengan tulisan sastra) tentang sekolah madrasah diniah disalah satu daerah di Kota Serang. Dalam tulisan itu saya mengulas bagaiamana semangatnya anak - anak di desa itu untuk belajar ilmu agama, tetapi kondisi madrasahnya tidak kondusif.
Saya ceritakan bagaimana anak - anak harus berebut tempat duduk ketika belajar, siapa yang sampai duluan maka dialah yang akan mendapatkan kursi dan mereka yang terlambat harus rela duduk di lantai pecah. Dan saya ceritakan pula bagaimana ketika musim huijan maka madrasah itu pun libur.
Keesokan harinya saya ditelepon oleh kantor bahwa ada yang meminta alamat lengkap madrasah tersebut dengan tidak menyampaikan alasannya. Dan ternyata orang ini adalah pengusaha panglong (mebeler) di Kota Serang yang tersentuh dengan tulisan itu dan mau mengirimkan bantuan meja kursi ke madrasah tersebut.
Saya mengira orang ini hanya basa basi, ternyata keesokan harinya pengelola madrasah itu menelepon saya dan minta ke rumah ingin mengucapkan terima kasih. Saya bingung berterima kasih apa?
Rupanya memang benar pengusaha yang meminta alamat madrasah itu mengirimkan bantuan meja kursi satu truk. Tanpa proposal, tanpa pengajuan dan tanpa meminta, meja kursi satu truk bisa datang hanya karena tulisan.
Dari sinilah saya menyadari betapa dahsyatnya sebuah literasi karena ternyata literasi mampu mengubah keadaan, mengubah fikiran dan memengaruhi gaya hidup masyarakat.. Semoga kedepan akan semakin banyak penulis Muslim dengan beragam spesialisasi agar generasi penerus kita bisa belajar.
- Penulis Buku Speak Brand
- Founder BantenPerspektif.Com
- Mantan Jurnalis Radar Banten dan Majalah Warta Ekonomi Jakarta.
0 Komentar