Sejak kecil, ia belajar ilmu agama langsung dari ayahnya di pesantren tersebut. Tidak hanya menyerap ilmu dari sang Ayah, Abuya Uci juga belajar dari 32 guru yang ada di pesantren itu selama 32 tahun dalam hidupnya. Ia memang dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan giat belajar. Hari-harinya banyak dihabiskan untuk memperdalam ilmu agama.
In Memoriam
Selamat Jalan Abuya Uci
Catatan | A. Jazuli Abdillah
Pegiat Literasi | Anggota DPRD Provinsi Banten
Inna lillahi wa inna ilahi raji’un,
Sesungguhnya milik Tuhan dan kepada-Nya pula kembali.
Seorang guru besar sekaligus tokoh Islam kharismatik dari Tangerang, Provinsi Banten, Abuya KH. Uci Thurtusi, telah berpulang pada Selasa, 6 April 2021. Tentu saja saya menjadi bagian dari warga Tangerang yang (merasa) sangat kehilangan.
Toh bagi
saya, sosok Abuya Uci atau biasa pula dipanggil Abah Uci, sudah sangat familiar
sejak puluhan tahun lalu. Ia bukan saja seorang Kyai kharismatik, tetapi juga
tokoh panutan yang dapat diterima oleh berbagai macam kalangan masyarakat.
Putra dari Abuya KH. Dimyathi Cilongok ini memang sangat dikenal karena ceramahnya yang menyejukkan. Dengan bahasa sunda-nya yang khas, Abuya Uci selalu berupaya mengayomi umat Muslim agar selalu menjaga falsafah Islam yang kaffah dan tidak ta’assub, juga rahmatan lil’alamin.
Maka tak heran bila KH. Abdurrahman Wahid, seorang sahabat dekatnya pernah beberapa kali datang untuk ceramah di pondok yang dipimpin Abuya Uci, Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyyah di
Kampung Cilongok, Desa Sukamantri Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang, Banten.
Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyyah
merupakan pondok yang didirikan oleh ayahanda Abuya Uci pada tahun 1957. Sejak
kecil, ia belajar ilmu agama langsung dari ayahnya di pesantren tersebut. Tidak
hanya menyerap ilmu dari sang Ayah, Abuya Uci juga belajar dari 32 guru yang
ada di pesantren itu selama 32 tahun dalam hidupnya. Ia memang dikenal sebagai
sosok yang rendah hati dan giat belajar. Hari-harinya banyak dihabiskan untuk
memperdalam ilmu agama.
Sepeninggal ayahnya, Abuya Uci yang juga bersahabat dengan Muhammad Luthfi bin Yahya (Habib Luthfi) langsung memimpin pondok pesantren seluas 4,5 hektare itu. Ia juga melanjutkan kegiatan pengajian mingguan yang sudah berjalan sebelumnya.
Setelah Sholat Shubuh dihari Minggu, pondok pesantren rutin mengadakan majelis akbar yang langsung dipimpin Abuya Uci. Dari waktu ke waktu, majelis akbar ini semakin banyak dihadiri jamaah dari berbagai kalangan dan daerah. Bahkan puluhan ribu jamaah yang tidak bisa parkir kendaraannya dekat lokasi pengajian, rela berjalan kaki agar dapat mengikuti majelis akbar tersebut.
Konon, ulama dari mancanegara, seperti ulama dari Mesir, Yaman, Arab, India, Irak, Maroko, dan negara lainnya, tidak jarang ikut hadir di pengajian mingguan tersebut.
Abuya Uci Bukan Sembarang Kyai
Ia merupakan
sosok guru yang selalu mengedepankan sikap humility; kerendah-hatian serta courtesy of the soul; sikap santun dari batin. Ia hadir untuk
melawan situasi dimana (sebagian) orang suka berceramah dengan sikap mencemooh dengan sinisme yang gelap. Abuya Uci menyampaikan dan mengajarkan ilmu agama dengan
sejuk dan ikhlas. Ia sangat memahami bahwa
ajaran agama diterapkan untuk mewujudkan kemaslahatan,
kedamaian, dan ketentraman semua umat manusia.
Baginya, hanya dengan orientasi kemaslahatan
bersama (maslahat al-ummah) itulah keutuhan
dan kemajuan suatu daerah atau bangsa dapat terwujud. Dengan demikian, misi
Islam sebagai ajaran pembawa rahmat bagi alam semesta dan seluruh umat manusia
akan terwujud. Seperti yang ditulis Kuntowijoyo dalam “Dinamika Internal Umat Islam di Indonesia” (1993), sejak awal
perkembangannya, sasaran da’wah Islam bukanlah untuk merebut kekuasaan,
melainkan ingin mengadakan revolusi pemikiran. Islam mengajak berpikir lurus
dan berakhlak mulia, mengajak agar manusia sadar akan kedudukannya di hadapan
Tuhan.
Itu sebabnya Abuya
Uci tidak pernah menempatkan agama--ruang antara “aku” dan “Tuhan” direduksi menjadi situasi persaingan antara “kami” dan “mereka”. Ia merupakan sosok Kyai
yang berhasil memahami gagasan dasar tentang tawassuth (moderat), tasamuh
(toleransi), tawazun (keseimbangan), dan
i’tidal (keadilan) secara tepat dan
benar. Rasanya tidak terlalu berlebihan bila saya menyebut Abuya Uci (seperti)
sedang membangun jalan keadaban untuk umat.
Bagi saya, ia
telah menjadi sosok kerinduan yang menggugah hati bagi banyak orang : didatangi
jemaah dengan antusias dan disambut dengan perasaan ahlan wa sahlan wa marhaban; penuh suka cita dan bahagia. Saya ingat sepotong kalimat yang pernah diucapkan Abuya Uci dalam
sebuah ceramahnya. “Banyak orang yang mencari cara hidup yang baik, namun
mereka lupa mencari cara mati yang baik”.
Selamat Jalan,
Abuya.
0 Komentar