Prahara Partai Demokrat kali ini cukup emosional karena melibatkan etika, rasa, perasaan dan empati. Apa yang dilakukan Moeldoko menerima menjadi Ketua Umum Demokrat pada KLB seperti mengkonfirmasi bahwa etika dalam politik sudah lenyap ditelan ambisius.
Mereka yang empati terhadai Partai Demokrat versi AHY jangan ditempatkan bahwa mereka semuanya adalah kader Demokrat atau simpatisann SBY.
Mereka yang empati bisa jadi datang dari kader partai lain dan boleh jadi mereka tidak mencoblos Demokrat pada Pemilu 2019 lalu. Yang membuat kasus Demokrat mengaduk - aduk perasaan publik adalah ada peran Moeldoko dalam prahara Demokrat, itulah yang membuat orang empati ke AHY dan SBY.
Ceritanya akan lain andaikan konflik Demokrat tidak melibatkan Moeldoko sebagaimana yang pernah terjadi pada partai lain. Posisi Moeldoko yang menjadi pejabat negara aktif sebagai Kepala Staf Kepresidenan jelas mengundang tanda tanya besar dan itulah yang menjadi tanda tanya sebagian publik kepada SBY dan AHY.
Tak hanya itu, pada faktanya nama besar Moeldoko ada peran SBY didalamnya karena SBY lah yang mengangkat Moeldoko menjadi Panglima TNI saat SBY menjadi Presiden.
Saya yakin Moeldoko tidak akan lupa momentum ini karena itulah puncak karir yang strategis bahkan dibandingkan posisi sekarang pun lebih bergengsi Panglima TNI, jabatan yang pernah diberikan SBY kepada Moeldoko,
Coba bayangkan andaikan Anda berada di posisi SBY, apa perasaan Anda dan apa yang akan Anda lakukan. Pasti akan mengatakan kok tega ya, itulah perasaan SBY saat ini. Tidak berhenti disitu, SBY dan Moeldoko adalah purnawirawan tentara yang diajarkan tampil sebagai seorang ksatria.
Andaikan Moeldoko kader atau mantan kader Demokrat mungkin ceritanya akan lain, tapi Moeldoko sama sekali bukan kader Demokrat.
Kenapa dia tidak memilih menjadi Ketua Partai Hanura, partai yang pernah ia singgahi dan kondisinya juga sedang butuh tokoh. Itu jauh lebih elegan ketimbang menerima atau mengambil alih kursi AHY.
Empati publik ke Demokrat bukanlah pada konfliknya, tapi ada nama Moeldoko yang menyelinap dalam konflik Demokrat. Publik tak akan menaruh empati hesar kepada Demokrat andaikan tidak ada namq Moeldoko dan hanya melibatkan internal Demokrat.
Konflik dalam partai politik sudah sering ditonton publik, tapi tidak begitu menarik bagi mereka yang bukan kader partai dan simpatisan partai yang berkonflik. Namun pada kasus SBY terssa beda karena publik memberikan kepritanan.
Penulis | Karnoto
Chief in Editor BantenPerspektif
0 Komentar