Menjelang Pemilu 2024 seluruh partai politik ramai - ramai membidik milenial. Dalam konteks pasar ini wajar mengingat secara kuantitas pemilih memang jumlah mereka menguasai.
Pada bagian lain pesaingnya juga banyak. Jadi mirip jualan sembako, potensi pasarnya besar pesaingnya juga banyak. Bedanya kalau sembako menggunakan strategi harga dalam persainganya, sedangkan partai politik kalau saya melihat lebih kepada strategi komunikasinya.
Ada partai yang mencoba melakukan pendekatan komunikasi melalui tools teknologi, mulai dari rekruitment pun dilakukan dengan fasilitas teknologi.
Ada pula partai politik yang memakai strategi ketokohan yang dimiliki partai politik tersebut. Apa pun caranya benang merahnya adalah milenial lagi jadi rebutan partai politik.
Jangan heran kalau sekarang para politisi tua dipaksa berpenampilan milenial dan terkadang harus keluar dari personal brand politisi itu.
Bayangkan saja ada politisi kolonial dimakeup milenial. Makanya saya suka guyon, lama - lama makeup artis dipakai juga buat dandanin para politisi.
Menurut saya sih cara seperti ini cara konvensional dan merusak personal brand politisi yang sudah jadi. Bagi politisi kolonial yang memang punya personal brand "milenial" sih tidak menjadi persoalan.
Akan menjadi persoalan ketika makeup milenial ternyata bukan personal brand yang mereka miliki. Kalau ini yang terjadi maka politisi ini akan tampil menjadi orang lain dan dalam konteks ini orang lain itu adalah milenial.
Kalau ini yang terjadi saya pastikan mereka tidak akan pernah nyaman dengan makeup itu, karena bukan mereka yang sebenarnya melainkan berubah wujud menjadi orang lain.
Padahal bisa menggunakan cara lain dengan tetap tidak melenyapkan atau menyamarkan personal brand yang sudah dimiliki selama ini.
Misalkan saja dari fikirannya yang milenial dan diterjemahkan dalam komunikasi visual selain dimakeup penampilan fisiknya. Kalau persepsi komunikasi hanya pada fisik maka jelas ini kekeliruan.
Makanya saya terkadang suka tertawa tipis ketika melihat makeup politisi yang terlalu over makeup sampai orang kaget terkejut.
Terkejutnya bukan kagum tetapi geli, ibarat orang makeup pakai bedak dan gincu, bedak dan gincunya mbeleber kemana mana karena over makeup.
Padahal yang dibutuhkan milenial itu fikirannya, cara meracik konten komunikasinya. Untuk apa dipoles milenial kalau ternyata bicara dan fikiranya ga nyambung dengan mereka maka pesanya tidak akan pernah sampai.
Itulah sering saya sampaikan personal branding bukan merekayasa kepribadian. Kalau ini yang dilakukan maka percayalah tidak akan pernah kuat personal brandnya.
Sebenarnya sih kalau kita baca jeli sejarah Nabi Muhammad maka disana akan kita temukan kisi - kisi bagaimana melakukan komunikasi menggarap milenial tanpa harus menghilangkan personal brandnya.
Bagaimana Nabi Muhammad menggaet sosok Ali bin Abi Thalib, apakah nabi ketika itu harus mengubah gayanya? Penampilannya kan tidak juga. Nabi Muhamamd tetap pada personal brandnya yaitu Al Amin.
Nabi Muhammad mendekati dan menggaet mereka bukan dengan mengubah penampilan, tapi fikirannya atau sekarang kita mengenal istilah narasinya.
Nabi Muhammad membawa narasi yang kokoh, narasi baru tentang perubahan, yaitu tauhid. Untuk apa mengubah penampilan sok milenial tapi tidak ada narasi yang mampu membangkitkan milenial ikut berfikir, tergerak dan akhirnya ikut rombongan.
Sebagian sering lupa kalau politisi bukan artis meski memang harus ada infortainmentnya. Sama seperti desain grafis, editing video mereka bukanlah seniman meski pekerjaanya ada unsur seninya.
Founder Maharti Networking
0 Komentar