BANTENPERSPEKTIF.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, Palestina merupakan salah satu negara yang sejak awal mendukung kemerdekaan Indonesia.
Karena itu, memerdekakan bangsa Palestina dari penjajahan zionis Israel merupakan kewajiban moral sekaligus amanah konstitusi bagi bangsa Indonesia yang sejak awal telah memiliki hubungan historis diantara kedua negara.
"Palestina adalah salah satu negara yang sejak awal mendukung kemerdekaan Indonesia. Karena itu, semangat mereka ada di setiap nafas kita. Kita punya kewajiban moral, historis dan kemanusiaan untuk menghentikan penindasan atas Palestina," kata Anis Matta dalam keterangannya, Minggu (16/5/2021).
Menurut Anis, sejak awal para pendiri bangsa (foundung fathers) memiliki satu misi suci yang memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada seluruh bangsa di dunia, serta melenyapkan segala bentuk penjajahan dari seluruh muka bumi.
"Oleh karena itu, rasa senasib dan sepenangungan yang dialami oleh rakyat Palestina mengalir deras kepada bangsa Indonesia. Itu sebabnya, memerdekakan Palestina adalah misi konstitusi kita yang sangat suci," tegas Anis Matta.
Bahkan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung yang digagas oleh Soekarno (Bung Karno), Presiden RI pertama yang juga Proklamator, menurutnya, juga bertujuan untuk memerdekakan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika dari penjajahan, diantaranya mendukung kemerdekaan bangsa Palestina.
"Jadi Bung Karno membuat Konferensi Asia Afrika itu untuk mendorong kemerdekaan negara-negara di Asia-Afrika. Semua negara sudah merdeka, yang paling akhir itu Afrika Selatan. Dan satu yang terakhir, adalah Palestina. Ini adalah misi terakhir yang harus kita tuntaskan dalam misi konstitusi kita," tandasnya.
Anis Matta lantas menjelaskan, sejarah awal mula penguasaan lahan atau tanah Palestina oleh zionis Israel yang telah direncanakan kaum Yahudi sejak 100an tahun lalu, melalui organisasi zionis yang didirikan Theodor Herzl pada tahun 1882.
Herzl ini secara khusus disebut namanya dalam Deklarasi Kemerdekaan Israel dan secara resmi diberi sebutan sebagai 'bapa rohani Negara Yahudi' (the spiritual father of the Jewish State).
"Mulanya zionis punya empat pilihan negara untuk menampung kaum Yahudi, yakni Palestina, Argentina, Uganda dan Mozambik. Tapi kemudian memilih Palestina, karena justifikasi keagamaan akan memudahkan mobilisasi global kaum Yahudi untuk bermigrasi ke Palestina," katanya.
Pendirian negara Israel untuk kaum Yahudi di tanah Palestina ini mendapatkan dukungan dari PM Inggris Arthur Balfour saat berkecamuknya Perang Dunia I dan bertepatan dengan terjadinya peristiwa Holocaust yang dilakukan oleh penguasa Jerman Adolf Hitler.
"Arthur Balfour memberikan dukungan penuh Inggris terhadap misi zionis membentuk negara Israel di Palestina melalui surat ke Rothschild (Patriark Mayer Amschel Rothschild, bankir nomor satu di benua Eropa abad ke-18) saat berkecamuknya Perang Dunia I," jelasnya.
Rothschild yakin pasukan sekutu yang didalamnya ada Inggris dan Prancis dapat mengalahkan Ottoman Imperium (Kesultanan Utsmaniyah, Turki) dan membuat perjanjian membagi kekuasaan Ottoman, termasuk wilayah Palestina.
Perjanjian itu dikenal dengan Perjanjian Sykes Picot. Dalam perjanjian itu, Yerussalam akan dikelola sebagai brown area yang akan dikelola internasional, namun akhirnya diambil oleh Inggris pada tahun 1920.
"Dalam ruang pergerseran geopolitik inilah pengambil-alihan Palestina berlangsung. Dukungan Inggris melalui Deklarasi Balfour dan Perjanjian Sykes Picot, serta kemenangan Inggris dan Prancis dalam Perang Dunia I mempercepat ekspansi teritorial dan demografis kaum zionis untuk membentuk negara Israel semakin cepat," katanya.
Akibatnya, jumlah kaum Yahudi yang tadinya pada 1882 hanya 3 persen dari 460 ribu penduduk Palestina, dalam kurun waktu 70 tahun menjadi 31,5 persen dari 2.065.000 penduduk di tanah Palestina pada 1948.
"Jadi zionis terencana secara masif untuk melakukan migrasi ke tanah Palestina sebelum negara Israel berdiri pada 1948. Berakibat konflik penguasaan lahan, yang tidak disadari oleh bangsa Palestina dan berujung pada penjajahan," ujar Anis Matta.
Sayangnya, PBB juga tidak berpihak kepada bangsa Palestina, justru mendukung Israel melalui Resolusi No.181 Tahun 1947, yang membagi tanah Palestina menjadi tiga zona, yakni untuk pemerintahan Israel, Palestina dan zona bersama yang dinamakan Al-Quds atau Yerussalem. Namun, akhirnya Al Quds juga dicaplok oleh Israel.
"Singkatnya bila hutang budi, karena tragedi holocaust yang menimpa Yahudi menjadi dasar negara-negara barat mendukung berdirinya negara Israel. Mengapa Palestina yang harus membayarnya? " tanya Anis Matta.
Lalu, logika apakah yang bisa membenarkan langkah zionis Israel, yang sebelumnya mendapatkan perlakuan Holocaust di Eropa, justru menjadi pelaku pembataian kaum Muslimin di Palestina, tanya Anis Matta lanjut.
"Jadi logika apa yang apa yang membenarkan kaum Yahudi yang menjadi korban pembantaian di Eropa sekonyong-konyong datang ke Palestina dan berbalik menjadi pelaku pembantaian kaum Muslim Palestina?"
Penderitaan rakyat Palestina, lanjut Anis Matta, semakin menjadi-jadi saat mantan Presiden Amerika Serikat (AS) mengakui Yerussalem sebagai ibukota Israel pada 6 Desember 2017 lalu.
"Pengakuan Trump (Donald Trump) terhadap Al Quds, Yerussalem sebagai ibukota Israel menyempurnakan skenario satu abad zionis. Ini sesuai mimpi Bapak Israel, Theodor Herzl. 'tidaklah sempurna tanpa Al Quds', Yerussalem," pungkas Anis Matta. (rls/kar)
0 Komentar