ABAD ke-17, Belanda telah menguasai beberapa daerah kerajaan besar seperti: Mataram, Maluku, Batavia dan Makasar. Sedangkan dalam bidang ekonomi, Belanda telah memegang monopoli perdagangan rempah-rempah secara luas, bahkan Belanda pun berhasil memperoleh monopoli di Sumatera Tengah yakni di Palembang (1642) dan Jambi (1643). Di pihak lain, rakyat nusantara sebagian besar berada dalam kemiskinan dan penindasan akibat keserakahan Belanda.
Saat itu, Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah satu raja yang gigih menentang pendudukan VOC di Indonesia. Kekuatan politik dan angkatan perang Banten maju pesat di bawah ke pemimpinannya.
Sultan Ageng Tirtayasa yang sejak kecil bergelar Pangeran Surya atau Pangeran Ratu Ing Banten itu seorang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Hal ini dibuktikan sewaktu masih menjabat Putra Mahkota, Pangeran Surya-lah yang mengatur gerilya terhadap pendudukan Belanda di Batavia. Oleh khalifah Makkah pula Pangeran Ratu Ing Banten mendapat gelar Sultan ‘Abulfath Abdulfattah.
Berdasarkan buku "Ensiklopedia Kerajaan Islam Di Indonesia, karya Binuko Amarseto". Dalam masalah politik kenegaraan, Sultan ‘Abulfath Abdulfattah dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Mengembalikan Jayakarta ke pangkuan Banten merupakan cita-cita utama dan karenanya Sultan ‘Abulfath tidak akan pernah mau berbaikan dengan kompeni Belanda. Sultan melihat bahwa perjanjian damai antara Sultan Abulmufakhir dengan kompeni pada tahun 1645 sudah tidak lagi dipatuhi kompeni.
Kompeni Belanda masih selalu mencegat kapal-kapal dagang asing yang hendak berlabuh dan mengadakan transaksi dagang di bandar Banten, sehingga pelabuhan Banten mengalami banyak penurunan. Akhirnya Sultan 'Abulfath memerintahkan tentaranya untuk selalu mengadakan perusuhan pada intalasi milik kompeni, di mana saja diharapkan orang-orang Belanda itu segera meninggalkan Banten.
Dan untuk melunakkan hati Sultan 'Abulfath, Belanda membawa hadiah-hadiah yang menarik tapi ditolak, lalu utusan kedua dikirimnya pula pada bulan Agustus 1655, tapi seperti utusan yang pertama, Sultan pun menolaknya. Banten bertekad hendak meleyapkan penjajah Belanda apapun resikonya.
Pada tahun 1656 pasukan Banten yang bermarkas di Angke dan Tangerang mengadakan gerilya besar-besaran, dengan mengadakan pengrusakan kebun-kebun tebu dan penggilingan-penggilingannya, pencegatan serdadu-serdadu patroli Belanda, pembakaran markas patroli, dan beberapa pembunuhan orang-orang Belanda, yang semuanya dilakukan pada malam hari.
Setelah terjadi beberapa kali pertempuran yang banyak merugikan kedua belah pihak, maka sekitar bulan November dan Desember 1657 Kompeni mengajukan usul gencatan senjata. Perjanjian gencatan senjata ini tidak segera dapat disepakati, karena syarat-syarat perjanjian itu belum semuanya disepakati. Karena kepentingan Belanda dan kepentingan Banten selalu berbeda.
Tanggal 29 April 1658 datanglah utusan Belanda ke Banten membawa surat dari Gubernur Jendral Kompeni yang berisi rangcangan perjanjian persahabatan. Usul perdamaian ini terdiri dari 10 pasal, salah satunya Banten harus membayar kerugian perang berupa 500 ekor kerbau dan 1.500 ekor sapi.
Lalu Blokade Belanda atas Banten akan dihentikan setelah Sultan Banten menyerahkan pampasan perang, Kantor perwakilan Belanda di Banten harus diperbaiki atas biaya dari Banten, Sultan Banten harus menjamin keamanan dan kemerdekaan perwakilan kompeni di Banten.
Dari rancangan naskah perjanjian yang diajukan kompeni ini, Sultan ‘Abulfath dapat melihat kecurangan dan ketidaksungguhan kompeni atas pedamaian. Kompeni hanya mengharapkan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan rakyat Banten. Oleh karenanya pada tanggal 4 Mei 1658, Sultan mengirimkan utusan ke Batavia untuk mengajukan perubahan atas rancangan naskah perjanjian itu, usulan Sultan pun ditolak oleh kompeni Belanda.
Oleh karena itu, pada 11 Mei 1658 dikirimnya surat balasan yang menyatakan bahwa Banten dan kompeni Belanda tidak akan mungkin bisa berdamai. Tiada jalan lain yang harus ditempuh kecuali perang. Sejak itulah Sultan Abulfath Abdulfattah mengumumkan “perang sabil” menghadapi kompeni Belanda.
Seluruh kekuatan angkatan perang Banten dikerahkan ke daerah-daerah perbatasan, maka terjadilah pertempuran besar di darat dan laut. Pertempuran ini berlangsung tanpa henti-hentinya sejak bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.
Sumber: Okezone
0 Komentar