Boyke Pribadi/Dok.Pribadi |
Tanpa terasa hari ini telah memasuki bulan rajab pada penanggalan hijriyah, yang artinya hanya dua bulan lagi kita akan memasukki bulan ramadhan, bulan yang paling ditunggu tunggu oleh ummat pencinta kedamaian hakiki.
Bulan ramadhan menjadi bulan yang paling ditunggu karena di dalamnya ada malam lailatul qadr, sebagai sebuah malam istimewa dimana disebut dengan malam seribu bulan yang artinya setiap perbuatan amal kebajikan pada malam itu akan dibalas sebagaimana amal kebajikan yang kita lakukan selama 87 tahun berturut turut.
Itulah sebabnya sebagian kaum sufi meng-anggap malam lailatul qadr yang hadir di dalam bulan ramadhan sebagai seorang tamu agung yang layak untuk disambut dan dipersiapkan kehadirannya oleh setiap ummat muslim.
Bahkan dalam beberapa riwayat, pada masa lalu seorang muslim mempersiapkan diri menyambut datangnya ramadhan sejak 6 (enam) bulan sebelum bulan ramadhan. Sementara pada saat ini, terkadang sampai 1 (satu) bulan menjelang ramadhan-pun terkadang kita lalai dan baru ‘ngeh’ (meminjam bahasa anak muda untuk istilah menyadari) pada saat mendengar pengumunan dari menteri agama di televisi.
Itulah pergeseran kebiasaan beragama ditengah tengah masyarakat masa kini yang lebih disibukkan dengan urusan dan hiruk pikuk kehidupan duniawi.
Padahal ketika kita menyambut seorang presiden sekalipun, memerlukan persiapan sedikitnya 3 (tiga) bulan sebelum hari-H pelaksanaan kegiatan dimana sang presiden tersebut hadir.
Persiapan tersebut sejak dari memperbaiki sarana dan prasarana serta infrastruktur agar bisa berfungsi baik dan tampil menarik. Itulah sebabnya pernah ada tips bahwa kalau pengen jalan suatu daerah itu diaspal dan menjadi bagus, maka harus mengundang pejabat atau presiden ke daerah tersebut.
Karena dengan kedatangan tamu agung tersebut maka pihak pemerintah daerah akan segera memperbaiki semuanya supaya mendapat pujian dari sang Presiden. Atau jangan jangan, kalau jalan dan tempat yang dikunjunginya tidak bersih atau tidak layak dari penilaian para petugas keamanan yang menjaga presiden, maka sang Presiden tidak jadi mengunjungi tempat tersebut.
Jika untuk menyambut manusia saja, begitu hebohnya dalam mempersiapkan diri, apalagi untuk menyambut sesuatu yang nilainya lebih dari sekedar manusia, karena penetapan malam agung dan keberkahan bulan ramadhan ini bukan dilakukan oleh manusia, akan tetapi ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta alam dan semua isinya, yaitu Allah SWT.
Menurut pemahaman penulis, kenapa ramadhan harus disambut dengan gembira. Adalah karena dalam kacamata keimanan, pada bulan ini berbagai amal kebajikan yang diniatkan untuk ibadah kepada Allah SWT akan dinilai berlipat ganda. Dan kita sebagai manusia yang penuh dengan kesalahan, sangat beruntung jika bertemu dengan bulan ramadhan.
Coba saja bayangkan, bila mengikuti petunjuk dari ilmu kesehatan modern, maka kita seharusnya tidur sebanyak 8 jam per hari, yang artinya sepertiga waktu dalam satu hari satu malam yang jumlahnya 24 jam kita gunakah untuk tidur.
Dan bila rumus sepertiga ini kita gunakan terhadap umur rata rata manusia yang sekitar 60 tahun, maka dapat dibayangkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk tidur saja telah memakan waktu sebanyak 20 tahun dalam jumlah usia rata rata manusia.
Sementara untuk menjalankan ibadah ritual semacam shalat wajib, dimana setiap waktu shalat ditambah shalat sunah tidak pernah lebih dari 2 jam untuk 5 waktu shalat sehari semalam.
Dengan demikian untuk urusan penghambaan diri kepada Sang Maha Pencipta hanya seperduabelas dari waktu yang diberikan oleh-NYA. Sehingga bila hanya menghitung ritual ibadah saja maka seumur hidup rata rata manusia yang 60 tahun, hanya 5 tahun waktu yang kita gunakan untuk beribadah, dan dapat dilihat secara kontras bagaimana waktu yang kita gunakan untuk tidur dengan waktu yang digunakan untuk beribadah.
Memang benar, bila ada yang mengatakan bahwa ibadah itu bukan hanya shalat, dalam arti bekerja dan tidurpun ibadah. Pemahaman penulis-pun tidak menolak pendapat tersebut, hanya saja terkadang bila tengah asyik bekerja hingga melalaikan panggilan shalat, apakah itu salah satu bentuk ibadah?
Penulis tidak memiliki kapasitas untuk menjawab hal itu. Penulis justru tertarik dengan pendapat seseorang yang berupaya tidak melepaskan shalat berjamaah setiap kali mendengarkan panggilan Adzan, menurut nya ”segala sesuatu aktifitas yang kita kerjakan selama ini hanya sekedar pengisi waktu luang untuk menunggu panggilan adzan’, sangat dalam makna dari pernyataan tersebut, yang dapat dipahami bahwa sesungguhnya kegiatan yang kita lakukan termasuk bekerja hanya sekedar pengejawantahan diri untuk beribadah kepada Allah SWT.
Karena kita sebagai manusia penuh keterbatasan, maka untuk mengimbangi kurangnya waktu kita dalam ber-ibadah kepada Allah SWT, maka bulan ramadhan dapat kita anggap sebagai kesempatan untuk berupaya menyamakan kedudukan antara amal kebajikan dengan kekurangan kita selama menempuh kehidupan ini.
Sebab bila kita ibaratkan pahala dan dosa sebagai deretan angka counter sebagaimana meteran di tempat pengisian bensin, maka pada saat kita melakukan dosa akan menggerakkan meteran yang mengukur dosa, pun demikian manakala kita melaksanakan amal kebajikan, maka yang bergerak adalah hitungan angka meteran amal kebajikan.
Bila pada bulan biasa hitungan amal kebajikan berputar dalam kecepatan standar, maka pada bulan ramadhan meteran tersebut akan berputar dengan sangat cepat sesuai dengan janji Allah SWT. Inilah kesempatan kita yang mungkin selama hidup ini lebih sering memutarkan angka meteran dosa. Dan menurut penulis pribadi, orang yang khusnul khatimah (berakhir dengan kebaikan) adalah orang yang jumlah total amal kebajikannya masih lebih besar dari jumlah total dosa yang pernah dilakukan.
Untuk itulah, sudah selayaknya kita mempersiapkan diri sebaik mungkin guna menyambut tamu agung yang sudah muncul seolah didepan gang rumah kita. Dan sebagai tuan rumah yang ingin dikunjungi tentunya harus menyiapkan berbagai hal seperti membersihkan jalan masuk ke rumah kita, merapihkan dan membereskan isi rumah agar nyaman, dan kalau perlu menambah asesoris rumah agar tampil menarik sehingga bisa mendapat perhatian dari sang tamu agung.
Dalam konteks diri manusia, ibarat tersebut dapat digambarkan sebagai persiapan diri guna bertemu dengan ramadhan dan malam lailatul qadr. Seorang penceramah mengatakan bahwa lailatul qadr akan hadir pada siapapun yang memang menyiapkan diri untuk menyambutnya.
Persiapan diri itu bisa dalam bentuk persiapan ruhani, seperti mulai membiasakan diri untuk shalat berjamaah pada waktu shalat wajib, mulai membuka buka kembali kitab suci Al-Qur’an sebagaimana ada sekelompok anak muda yang menjalankan program One Day One Juz (ODOJ), dan persiapan fisik seperti mulai membiasakan diri bangun lebih awal setengah jam sampai satu jam sebelum waktu subuh tiba.
Atau bahkan persiapan finansial, dengan mulai menabung berbagai kebutuhan untuk ramdhan dan idul fitri, agar selama bulan mulia tersebut kita tidak disibukkan dengan kegiatan mencari uang guna bersedekah dengan berharap balasan yang berlipat ganda .
Yang penting, kita sudah mempersiapkan diri menyambut tamu agung tersebut. Dan bila sudah bersiap siap namun belum juga bertemu dengan malam lailatul qadr, maka yakinlah bahwa Allah SWT telah menetapkan pahala karena persiapan yang kita lakukan. Dan semoga kita masih dipertemukan dengan ramadhan dan malam lailatul qadr pada tahun berikutnya.
0 Komentar