ANABERITA.COM, Di balik gunungan sampah Bantar Gebang, berdiri sebuah sekolah kecil dan sederhana yang diasuh Yayasan Tunas Mulia. Yayasan tersebut berdiri menjadi cahaya harapan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga pemulung dan kurang mampu. Lokasinya berada di Jalan Pangkalan II, RT 02 RW 04 Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi.
Selama kurang lebih 20 tahun berdiri, Yayasan Tunas Mulia sudah menelurkan alumni-alumni yang unggul. Menurut ketua sekaligus pendiri Yayasan Tunas Mulia, Juwarto, sekolah ini telah mencetak tujuh sarjana dan saat ini, enam siswa mereka sedang menempuh kuliah.
"Iya itu dari keluarga pemulung, itu generasi pertama kita," tuturnya kepada Tim Lifestyle Liputan6.com pada Kamis, 2 Mei 2024. "Yang satu mendirikan sekolah pemulung juga," tambahnya.
Nurjanah (28), salah satu alumni Sekolah Alam Tunas Mulia, turut membagikan kisahnya. Ia berasal dari keluarga tidak mampu saat itu. Usai lulus dari Sekolah Dasar (SD), orangtuanya tidak mampu membiayai sekolah lanjutan di sekolah negeri maupun swasta.
"Tapi kondisinya di situ, saya sangat ingin sekolah, jadi saya dan keluarga mencari di mana sih sekolah yang bisa menerima kita tapi tanpa biaya. Akhirnya, kita diperkenalkan dengan Sekolah Alam Tunas Mulia ini," tutur Nurjanah.
Nurjanah mengaku sempat tidak percaya bahwa sekolah tersebut gratis 100 persen. Ia sangsi. "Mana ada sekolah yang seperti itu", begitu isi pikirannya.
Setelah mendaftar, ia kaget karena diberi seperangkat alat tulis gratis serta tasnya untuk sekolah. "Karena memang ternyata dikasih buku di sini, bukannya enggak ada buku kita enggak belajar. Memang kita dikasih seperangkat alat tulis beserta tasnya dan lain-lainnya itu untuk sekolah," jelas Nurjanah.
Berbeda dari sekolah formal pada umumnya, sekolah ini dimulai dari pukul 13.00–16.00 WIB. Hal ini dikarenakan pada pagi hari, anak-anak harus membantu orangtuanya terlebih dahulu memilah sampah.
"Kita ambil waktu setelah kerja mereka. Maka sekolah ini untuk yang SD, SMP, SMA, di atas jam 1 baru mulai belajarnya sampai sore," jelas Juwarto.
Selain itu, menurut penuturan dari Nurjanah, cara belajar sekolah ini mengedepankan praktik daripada materi. Mata pelajaran wajibnya tetap ada, namun hanya berlangsung sekitar 30–40 menit saja. Setelah itu, anak-anak akan belajar sambil bertindak, seperti praktik menjaga lingkungan, bertani, berkebun, dan lainnya.
Selama mengajar, Nurjanah juga membagikan tantangan dan kesulitannya. Menurutnya, hal yang paling susah adalah menjaga motivasi dan kesadaransiswa terhadap pendidikan. Dia mengaku bahwa motivasi siswanya masih naik turun sehingga para guru harus berusaha untuk menarik mereka agar terus tertarik bersekolah dan belajar.
Karena tekadnya untuk sekolah sangat tinggi, akhirnya Nurjanah memutuskan melanjutkan sekolah SMP-nya di Tunas Mulia. Setelah lulus SMP, Nurjanah mendapatkan beasiswa dari Tunas Mulia untuk melanjutkan pendidikan SMK-nya di luar yayasan karena saat itu Yayasan belum memiliki tingkat SMA sederajat.
Tidak berhenti di situ, semangat Nurjanah dalam mengenyam pendidikan berlanjut hingga kuliah. Nurjanah juga berhasil menyandang gelar sarjana psikologi dari Universitas Jayabaya. Ia pun memutuskan membalas budi dengan mengabdi di Tunas Mulia. Saat ini, Nurjanah menjadi staf pengajar dan sudah sekitar empat tahun mengabdi di Tunas Mulia untuk semua jenjang, mulai dari PAUD hingga SMA.
Juwarto bersama rekannya, Nadam Dwi Subekti, menginisiasi sekolah ini sejak 2004. Sebagai Ketua Yayasan Tunas Mulia saat ini, Juwarto merasa sangat prihatin melihat anak-anak pemulung yang kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Banyak juga di antara mereka saat itu yang menikah di usia sangat dini.
Tergerak untuk memberi kehidupan yang lebih layak, Juwarto akhirnya memutuskan mendirikan sekolah alam tersebut. "20 tahun yang lalu pendidikan tidak seperti ini, dulu terasa sulit. Makanya, saya konsen ke anak-anak pemulung ini karena ingin inisiatif bagaimana anak-anak kita yang pendidikannya susah, kita fasilitasi biar berpendidikan. Karena apa? Kalau anak-anak sekarang ini enggak punya ijazah, akan susah mereka bisa ikut kontribusi untuk kerja di luar," jelas Juwarto.
Berawal dari mulut ke mulut, akhirnya sekolah ini berkembang menjadi lebih besar. Mereka saat ini memiliki lebih dari 350 siswa dari semua jenjang, mulai dari PAUD hingga SMA.
0 Komentar