ANABERITA.COM, Semburat cahaya sang surya sedikit terhalang mendung saat menyentuh rimbunan kebun salak pondoh yang tumbuh subur di Kalurahan Girikerto, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (27/6) pagi.
Ratusan ikan nila yang kelaparan saling berlomba melahap dedak yang ditebar petani menciptakan riak air di kolam-kolam berukuran tak lebih dari 3x5 meter.
Kehidupan perkampungan di kaki Gunungapi Merapi mulai menggeliat pagi itu. Ada yang berladang, memberi makan ikan, memasak di dapur, berjualan makanan hingga menjemur baju di teras halaman rumah. Begitupun dengan beberapa relawan komunitas bencana yang selalu memonitor informasi menggunakan radio handy talky (HT).
Di tengah kedamaian itu, sebuah pesan panggilan radio Posko Kalurahan Girikerto memecah keheningan. Rupanya, ada kabar dari Balai Penyelidikan dan Pengembangna Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) yang diteruskan oleh Pusat Pengendali dan Operasi (Pusdalops) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman.
Dari informasi itu, tersiar kabar bahwa Gunungapi Merapi ditetapkan statusnya menjadi level IV atau “AWAS” karena adanya perubahan deformasi kubah yang sangat signifikan. Pihak BPBD Kabupaten Sleman lantas meminta relawan posko untuk segera melaporkan kabar tersebut kepada Kepala Kalurahan dan masyarakat untuk segera melakukan evakuasi mandiri.
Sementara itu, Suradilah yang tengah beraktivias di rumahnya dihampiri petugas posko. Wanita 62 tahun itu diminta segera mengemasi barang dan membawa pakaian secukupnya untuk dibawa ke barak pengungsian yang tengah disiapkan.
Di lokasi lain, Turwidaningrum, wanita lanjut usia yang tengah berbaring di tempat tidur juga didatangi dua petugas posko. Para petugas itu kemudian membawanya menggunakan kursi roda karena kedua kakinya sudah tidak begitu kuat menopang tubuhnya yang makin renta.
Selang beberapa menit kemudian, ratusan warga Kalurahan Girikerto mulai berbondong-bondong menuju lokasi barak pengungsian. Beberapa mobil bak terbuka dan ambulance mondar-mandir menjemput dan mengantarkan para warga menuju lokasi pengungsian sementara.
Setibanya di lokasi pengungsian, warga mulai didata dan diberikan pelayanan kesehatan, khususnya bagi mereka yang masuk kategori kelompok rentan seperti lansia, disabilitas, ibu hamil, ibu menyusui dan anak-anak.
Dalam waktu tak kurang dari dua jam, seluruh warga berhasil dievakuasi seiring pelayanan posko pengungsian yang mulai dilengkapi oleh relawan gabungan.
Narasi di atas adalah gambaran simulasi evakuasi mandiri warga Kalurahan Girikerto yang dilakukan sebagai upaya peningkatan kesiapsiagaan dari adanya potensi dampak risiko bencana erupsi Gunungapi Merapi. Giat itu diprakarsai oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Pemerintah Kabupaten Sleman.
Giat simulasi itu sedikit berbeda karena dilakukan dengan melibatkan masyarakat lansia dan kelompok rentan lainnya sebagai fokus utama dalam upaya peningkatan kesiapsiagaan. Giat yang dilakukan selama kurang lebih satu jam itu berjalan sesuai harapan.
Para peserta dan petugas sangat kooperatif dalam melaksanakan rangkaian simulasi.Kalurahan Girikerto sendiri adalah wilayah di Kapanewon Turi dan menjadi tempat tinggal bagi 7.905 warga yang terdiri dari 3.964 laki-laki dan 3.941 perempuan, dimana 15 persennya atau 1.385 jiwa merupakan kelompok lansia.
Jika dirinci lebih detil, ada sebanyak 651 lansia laki-laki dan 744 lansia perempuan, yang mana 1.030 lansia sudah mandiri, 333 semi mandiri dan 22 sisanya lansia tirah baring atau bedridden.
Kalurahan yang memiliki luas wilayah sekitar 13.07 kilometer persegi itu memiliki 13 padukuhan dimana 1 padukuhan masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III dan 1 padukuhan masuk KRB II.
Dalam sejarahnya, Kalurahan Girikerto pernah terdampak erupsi Gunungapi Merapi, yakni pada tahun 1967, 1968 dan 1969. Pada saat itu arah letusan cenderung ke arah hulu Sungai Batang, Bebeng dan Krasak dengan jarak luncur 9-12 kilometer.
Kemudian pada 15 Juni 1984, Gunungapi Merapi meletus dan mengeluarkan Awan Panas Guguran (APG) mengarah ke Sungai Blongkeng, Putih, Batang daj Krasak. Material vulkanik yang dikeluarkan saat itu tercatat mencapai 4,5 juta meter kubik.
Adapun pada tahun 1986, 1992, 1994, 1997, 2001 dan 2005 wilayah Kalurahan Girikerto tak luput dari dampak aktivitas erupsi Gunungapi Marapi yang terjadi pada saat itu.
Giat simulasi lansia itu mendapat apresiasi Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto S.Sos., M.M., yang memang secara khusus datang dari Jakarta hanya untuk menyaksikan bagaimana para kelompok rentan dan relawan dapat bersinergi dalam meningkatkan upaya kesiapsiagaan.
Pada momentum itu, Kepala BNPB juga menaruh simpati dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh peserta, baik masyarakat lansia maupun petugas relawan.
Dari rangkaian simulasi itu, Suharyanto melihat bahwa meski usia lanjut namun hal itu tidak menyurutkan semangat para peserta. Senyum peserta yang tak lagi muda itu membuncah. Energinya seakan tak pernah padam, seolah tak mau kalah dengan mereka yang masih muda.
Dalam sambutannya, Suharyanto pun secara khusus menyapa peserta lansia sebagai pemuda-pemudi sebagai penghormatan sekaligus menggenjot semangat dan mencairkan suasana.
Pada momentum itu, Kepala BNPB lantas menjelaskan tentang rentetan bencana yang mana tren kejadiannya naik setiap tahun. Menurut Kepala BNPB, hal itu dipicu oleh beberapa faktor seperti pertambahan jumlah penduduk, tata kelola lingkungan, perubahan iklim dan sebagainya.
Kendati tren kejadian bencana naik, namun Kepala BNPB mengatakan bahwa tingkat risikonya cenderung turun. Hal itu ditengarai karena upaya mitigasi, kesiapsiagaan dan peringatan dini dilakukan secara maksimal dan sinergi antara masyarakat dan pemerintah semakin baik.
Menurut catatan BNPB, tren kejadian bencana dampak erupsi gunungapi meningkat di tahun 2024. Suharyanto kemudian menceritakan bagaimana BNPB turun ke sejumlah lokasi untuk penanganan darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi.
Mulai dari Gunungapi Marapi di Sumatera Barat, Kepala BNPB menceritakan bagaimana bencana sekunder yang terjadi sekitar dua bulan lalu itu kemudian menelan korban hingga 72 orang termasuk kerugian materil lainnya.
Menurut hasil kaji cepat, kawasan Gunungapi Marapi baru memiliki dua sabo dam untuk banjir lahar hujan gunungapi. Hal itu menjadi salah satu faktor penyebab petaka yang ada di sana. Hingga tahun 2026 pemerintah menargetkan untuk membangun sabo dam di 56 titik.
Angka itu masih jauh jika dibanding dengan keberadaan sabo dam di kawasan Gunungapi Merapi yang mana hingga saat ini sudah ada sebanyak 200 lebih sabo dam sebagai jalur lahar.
Selanjutnya Gunungapi Ruang yang ada di Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara. Suharyanto mengenang, jika pada saat itu pemerintah terlambat memberikan informasi peringatan dini dan tidak segera mengevakuasi warga, maka kemungkinan besar akan jatuh korban jiwa.
Berikutnya erupsi Gunungapi Ibu di Halmahera Barat, Maluku Utara. Meski saat ini status sudah turun menjadi level III, namun pemerintah daerah setempat sempat dibuat kepayang melakukan upaya penanganan darurat.
Kemudian wilayah Nusa Tenggara Timur ada Gunungapi Lewotobi Laki-Laki dan Ile Lewotolok yang saat ini masih mengalami erupsi dan berstatus level III atau “Siaga”.
Semua itu pernah dikunjungi Kepala BNPB dan dari rentetan kejadian itu, masyarakat Gunungapi Merapi dinilai lebih siap dan patut dijadikan role model untuk peningkatan kesiapsiagaan hingga penanganan daruratnya.
Menyikapi dari seluruh rentetan kejadian bencana erupsi gunungapi di Tanah Air dalam semester pertama tahun 2024, Suharyanto meminta agar masyarakat tetap meningkatkan kewaspadaannya sebagai bentuk upaya kesiapsiagaan.
Di sisi lain, Suharyanto juga meminta agar masyarakat tidak melawan apa yang sudah menjadi kodrat alam dan selalu mengikuti anjuran pemerintah.
Suharyanto kemudian mencontohkan bagaimana erupsi Gunungapi Semeru kembali menelan korban jiwa karena masyarakat mengabaikan anjuran pemerintah.
Kembali ke masyarakat sekitar Gunungapi Merapi, sebelum mengakhiri arahan, Kepala BNPB menitipkan pesan agar apa yang sudah terbentuk mulai dari pemahaman literasi, kesiapsiagaan dan mitigasi agar tetap dipertahankan dan dilanjutkan.
Sebab, itu yang menjadi dasar utama dari seluruh rangkaian penanganan bencana, sebagaimana yang menjadi arahan Presiden Joko Widodo bahwa upaya pencegahan harus menjadi dasar utama dalam pengurangan risiko bencana di Tanah Air.
Sumber:
BNPB
0 Komentar